26. Balikan?

1.8K 163 13
                                    

Chika sudah terbangun beberapa menit yang lalu, ia asik memandangi wajah seseorang yang mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Ia tersenyum, tangannya mengusap pipi Vivi dengan lembut. Perlahan ia menyibakkan anak rambut yang jatuh di wajah Vivi.

Tak ada perbincangan serius semalam, setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Mereka memutuskan untuk tidur karena waktu sudah sangat larut.

"Chik, kalo gak bisa diem, aku lempar keluar." Ketus Vivi tanpa membuka kelopak matanya. Ia merasa sangat terganggu dengan aksi Chika di wajah dan rambutnya.

"Bangon," Chika malah berganti mencubit pipi Vivi.

Vivi menarik tangan Chika dari wajahnya, lalu dengan gerakan cepat ia memeluk tubuh Chika, tidak menyisakan ruang antara mereka, sehingga Chika tidak bisa mengganggunya dengan sentuhan apapun.

"Diem dulu, bentar lagi mamah nyampein orasi." Ucap Vivi.

Diam-diam Chika mengulum senyumnya, ia membalas pelukan Vivi, kepalanya ia tempelkan di dada Vivi, samar-samar ia bisa mendengar degup jantung Vivi.

Benar ucapan Vivi tadi, sesaat kemudian mereka bisa mendengar bunyi pintu yang diketuk dari luar diiringi dengan suara orang demo.

"Vivi, bangun. Jadi anak kok susah banget buat bangun pagi. Kamu itu cewek, cepetan bangun trus sholat."

Vivi hanya terdiam, Chika mendongakkan kepalanya susah payah. "Bangun, kak."

"Ntar,"

"Vivi, kalo gak bangun, mamah bakar kamark kamu."

Vivi mendengus sebal, "Iya!" Pekiknya.

"Bangun trus sholat."

"Iya!" Jawab Vici dengan nada yang sama. Matanya terbuka sedikit, ia melirik jam yang berada di dindingnya, mamahnya biasanya membangunkan dirinya pukul setengah enam pagi lewat 10 menit, dan sekarang baru pukul 5 lewat 25 menit.

"Iya apanya?"

"Bangun trus sholat," jawab Vivi.

"Jangan bangun rumah tangga, kelamaan, mamah tunggu di bawah, cepetan." Setelah mengucapkan kalimat itu, mamahnya langsung pergi, terdengar dari bunyi langkah kaki yang semakin menjauh dari pintu kamarnya.

"Bener-bener mamah," gumam Vivi. Ia melonggarkan pelukannya, kepalanya menunduk menatap Chika, ia tersenyum, sepertinya kejadian semalam bukanlah bunga tidur, nyatanya saat ini ia bisa melihat calon bidadari di dalam pelukannya.

Tangan Chika terangkat dan mengusap pipi Vivi, "Bangun, ntar mamah kamu marah lagi."

Vivi menunjuk bibirnya dengan jari telunjuknya, Chika tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya. Ia hanya mengusap pipi Vivi sekilas lalu turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Vivi mendengus sebal, mau tidak mau ia mengekori Chika dari belakang.

Jika mamahnya membangunkan dirinya sedikit lebih awal, itu artinya ia harus berbelanja di tukang sayur yang melintas di depan rumahnya. Setiap pagi ada dua orang tukang sayur yang berhenti di depan rumahnya, tukang sayur pertama akan datang pukul 6 pagi kurang 15 menit, sedangkan tukang sayur kedua datang pukul 6 tepat. Hanya selisih 15 menit, tapi tukang sayur pertama sayurannya lebih lengkap dari pada tukang sayur kedua.

"Pagi mah," ucap Vivi sambil berjalan menghampiri mamahnya yang berada di dapur, di sampingnya ada Chika.

Bukannya menjawab, mamahnya malah memberikan selembar kertas yang berisi sayuran yang harus ia beli pada tukang sayur pertama dan selembar uang seratus ribuan. "Kalo semisal ada barang yang gak ada, kamu beli ke bang Jono."

PulseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang