24. Bintang

1.5K 168 21
                                    

Sebuah petikan gitar mengalun pelan dari kolam renang, hingar bingar di ruang latihan yang dibuat oleh Dey dan teman-teman memaksa hanya beberapa orang mampu mengetahui betapa dalamnya petikan gitar tersebut.

Tak ada orang lain selain Vivi, duduk bersila di pinggir kolam, gitar berada di pangkuannya, jemarinya asik bergulat dengan senar gitar. Rutinitas yang selalu ia lakukan saat jeda istirahat latihannya.

Baru beberapa menit ia duduk di sana, setelah cukup bercanda dengan beberapa temannya, ia memutuskan untuk menyendiri. Padahal selama ini kesendirian adalah hal yang paling ia hindari, karena disaat seperti ini bayang-bayang tentang Chika akan berlarian memenuhi otak kepalanya.

Hal yang paling menyakitkan adalah saat ia mengingat beberapa kenangan manis yang ia yakini tidak bisa ia putar kembali. Untuk saat ini ia ingin jujur pada dirinya sendiri, kalau ia benar-benar merindukan mantan kekasihnya, Chika.

Bila di depan nanti,
Banyak cobaan untuk kisah cinta kita
Jangan cepat menyerah
Kau punya aku, ku punya kamu
Selamanya akan begitu

Sepertinya lirik yang baru ia nyanyikan sudah tidak berlaku lagi. Kenyataannya Chika sudah menyerah, dan mungkin dirinya juga akan menyerah. Terlalu menyakitkan untuk terus bersama, saling menorehkan tanpa mau mengobatinya.

Beberapa detik setelah menyanyikan bagian lagu milik Tulus dengan judul Teman Hidup, Vivi terdiam, ia berhenti memainkan gitar. Ia menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia tersenyum ke arah Mira dan Aiko, ia menurunkan gitar dari pangkuannya. Kakinya ia luruskan ke depan saat Mira dan Aiko mengambil tempat di sampingnya.

"Sawan lo?" Sarkas Mira yang melihat Vivi terus tersenyum.

Bukannya marah, Vivi malah tertawa, sepertinya ia sudah kembali memasang topengnya. "Senyum kan ibadah,"

"Sholat aja jarang," cibik Aiko.

"Loh yang penting nyicil ibadah, kan." Jawab Vivi dengan penuh percaya diri.

"Semuanya udah beres," Vivi menoleh ke arah Aiko, "Udah? Padahal gue bilang gak usah. Lo buang aja."

Mira terdiam, ia sudah tau jika Vivi sudah benar-benar mencapai batas, dan mungkin hanya ada satu pilihan yang Vivi punya, menyerah.

"Lo yakin?" Vivi menganggukkan kepalanya kepada Aiko, dari raut wajahnya saja, Aiko tau jika Vivi benar-benar yakin dengan keputusan yang dibuat sendiri.

"Apa sih yang masih bisa diharapin lagi?" Tanya Vivi yang sebenarnya tidak ia tujukan kepada kedua temannya, tapi ia berikan kepada dirinya sendiri.

"Kita justru akan memahami arti memiliki setelah merasakan kehilangan," ucap Mira. Vivi menganggukkan kepalanya, kali ini ia setuju dengan ucapan Mira. Sebenarnya Chika yang kehilangan dirinya atau malah dirinya yang tanpa sengaja melepas Chika dari genggamannya sendiri.

"Beberapa orang datang di kehidupan kita, meninggalkan jejak kaki di hati kita, dan kita tidak akan pernah menjadi sama lagi," Vivi mendongakkan kepalanya sebentar, lalu ia tersenyum, "but i'm fine."

Baik Mira ataupun Aiko sama-sama tau jika Vivi tidak baik-baik saja, tapi kali ini mereka akan sama-sama berpura-pura menganggap semuanya akan baik-baik saja.

"Udahlah, males bahas ginian." Vivi berdiri, ia mengambil gitar lalu berjalan menuju ruang latihan, meninggalkan Aiko dan Mira yang masih terdiam di sana.

Sejujurnya tak ada yang baik-baik saja setelah perpisahan, tapi mau tidak mau ia harus hidup berdampingan dengan kenangan setelah perpisahan menyakitkan itu. Vivi terkekeh saat air matanya menetes, ia mengusapnya dengan cepat supaya tidak membuat teman-temannya menaruh curiga kepadanya.

PulseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang