Hari sudah berubah menjadi larut malam, Ariel berjalan seorang diri dibawah sinar bulan yang temaram. Ia menggosok tangannya saat merasakan udara dingin menyentuhnya. Ia sudah melupakan semuanya, bahkan ia tidak lagi peduli dengan paper yang harusnya dikumpulkan nanti malam.
Kendaraan berlalu lalang di sampingnya, pandangannya tertunduk ke arah kakinya. Ia memasang topi hoodie saat telinganya berdenging karena kedinginan.
Harusnya ia tadi membawa ponsel dan dompetnya sehingga ia pulang bisa sambil memesan ojek online atau mobil online. Ia merutuki kebodohannya sendiri, atau mengiyakan tawaran Vivi untuk pulang bersama. Inilah yang terjadi jika otaknya sedang tidak bisa berfungsi dengan baik.
"Ariel?!" ia mengangkat kepalanya saat seseorang memanggilnya dari depan. Ia melihat Amel berdiri di depan gerbang kos, ternyata ia sudah sampai.
Ia menarik turun topi hoodienya dan langsung berlari ke arah Amel. Menatap Amel dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Lo ngapain disini? Udah berapa lama lo berdiri disini? Ini udah larut banget lho, kalo lo ada apa-apa gimana? Jakarta itu kota keras, begal, maling atau penculik itu ada dimana-mana. Kalo lo diculik gimana? Kalo lo diapa-apain sama orang gimana? Nanti lo bi-"
Amel mengecup bibir Ariel sekilas, lalu ia tersenyum melihat Ariel yang bungkam karena perbuatannya. Tangannya berada di pipi Ariel, jempolnya mengusap bibir bawah Ariel. Bibir Ariel terasa dingin saat ia menyentuhnya, mungkin efek karena Ariel terlalu lama berada di luar.
"Bawel, aku gapapa. Tubuhku masih utuh, cuma satu yang ilang."
Ariel membulatkan matanya, menepis pelan tangan Amel yang berada di wajahnya. Ia memegang pipi Amel meneliti samping kanan dan kiri, mencari tau apa yang hilang dari tubuh Amel. Tangannya menepuk pundak Amel, memutar tubuh Amel, kepala Amel lengkap, kakinya utuh, tangan juga utuh, tubuhnya gak ada yang hilang.
Lantas apa yang hilang?
Ia terus mencari, siapa tau ada yang benar-benar hilang. Ia tidak boleh gegabah, ia harus teliti. Mungkin ada yang terlewat tadi. Ia harus fokus, mencari apa....
Tangan Amel menahan gerak kepala Ariel, mengarahkan untuk melihat ke arahnya. Sesaat Ariel merasa terhisap ke dalam bola mata Amel.
Cantik, batinnya.
"Kamu yang ngambil."
"A-aku?" Ariel menunjuk dirinya sendiri. "Aku gak ngambil apa-apa, aku cuma jalan-jalan keluar, trus a-"
Lagi-lagi Amel mengecup bibir Ariel, ia sengaja melakukan itu untuk membuat Ariel terdiam. Ia menyentuh tangan Ariel, menariknya lalu ia tempelkan di dadanya. "Ini yang kamu ambil, kamu udah ambil cintaku, jadi aku udah ga punya cinta untuk dibagikan ke orang lain."
Ariel terdiam, ia berpikir apa Amel tau jika selama ini ia ragu kepadanya? Apa Amel tau jika ia hampir ingin melepaskannya?
"Mel,"
Kepala Amel bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan lembut. Senyumnya belum luntur, masih tercetak indah disana. Tangan Ariel ia turunkan tapi masih ia genggam erat.
Ariel tersentak seolah tersadar akan sesuatu, ia menarik tangannya, wajahnya gugup. "Mel, paper aku. A-aku belum ngerjain paper."
Amel menarik tangan Ariel saat Ariel hendak melangkah ke dalam gerbang. "Waktu kamu pergi tadi, ponselmu bunyi terus. Yaudah aku angkat, kata temenmu gapapa temanya itu."
"Sekarang jam berapa?" Amel melirik jam yang melingkar di tangan kanannya, "Setengah duabelas."
"Ayo masuk, aku harus ngumpulin paper sekarang." Ariel menarik tangan Amel, namun Amel malah terdiam dan tidak bergerak membuat Ariel bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulse
Storie d'amore"Aku gak pernah bisa nolak permintaanmu," cerita fanfict Vivi dan Chika. Ada Amel dan Ariel. Ara dan Fiony. Random, mau request siapa boleh Selagi ada bahan, kenapa tidak dieksekusi sekalian?