DEVISAR, 11 NOVEMBER 2050
Jalanan malam terlihat remang-remang di tengah derasnya hujan. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam dan pejalan kaki tidak terlihat banyak. Seorang pria berbadan kekar muncul dari balik pintu kaca swalayan. "Apa kau senang hari ini?" tanyanya pada seorang anak laki-laki yang berdiri di samping, menggenggam sebatang cokelat.
"Ini adalah hari terbaik dalam hidupku!" Ia berteriak sambil melompat-lompat dengan sepatu boots kecilnya. Terlihat menggemaskan.
Sebuah papan reklame menyala di seberang sana, menampilkan gambar seorang wanita dengan bayi mungil di pelukannya. Bocah mungil itu menyorot sosok wanita pada reklame, membuat mata bulatnya melebar dari balik jas hujan overcoat. "Jika ibuku ada di sini, apa yang akan dia lakukan?" Tangan mungilnya menarik-narik jas hujan gelap milik pria berbadan kekar di sebelahnya.
Ia berdeham sekali, memproses kata-kata dalam pikirannya. "Tentu melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan." Matanya menatap bola mata mungil yang memandangnya penasaran dari bawah. Pria itu melengkungkan senyum di atas wajahnya yang tegas dan berbulu. "Dia akan ... melakukan ini." Tangannya menyelinap masuk ke dalam jas hujan overcoat anak laki-laki berpipi gembil, menggelitiki perut kembung yang halus itu.
Sang bocah kecil tertawa nyaring di tengah deru hujan yang meredam suaranya. "Hen ... tikan, nanti aku me ... ngompol." Dia berusaha berkata di sela tawanya.
Si pria paruh baya menghentikan pergerakan tangannya, memandangi tangan mungil yang menyeka air dari mata yang berwarna senada dengan miliknya. "Apa jasmu berlubang?"
"Tidak, ini air mata. Kau membuatku tertawa terlalu keras."
"Baguslah. Itu lebih baik, daripada kau menangis karena aku membuatmu sedih."
Mereka melangkah pergi, berjalan di bawah siraman air hujan. Si bocah kecil berlari mencari genangan air, lalu melompat ke sana dan tertawa.
Pria bertubuh kekar itu tak mengalihkan pandangannya pada lengkungan bibir yang indah di wajah sang bocah.
Seberkas cahaya putih muncul di seberang jalan diikuti dengan bayangan yang bergerak cepat ke dalam sebuah gedung kecil yang terbengkalai, membuat fokusnya teralihkan.
Lampu menyala merah di jalan kecil itu, tak ada kendaraan yang berhenti menunggu giliran. Jalanan kecil pada malam hari memang seperti kota mati. Sang bocah mungil menyeberang jalan sambil berlari dan melompat, membuat cipratan-cipratan kecil pada genangan air.
Dari kejauhan, terlihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Lampu lalu lintas masih menyala merah. Namun, mobil itu tetap melaju kencang, terlihat oleng. Suara gesekan aspal dengan bannya terdengar nyaring, membuat si pria paruh baya tersadar dan menghampiri bocah yang melompat-lompat riang.
Mobil tak sedikit pun memelan, hujan menjadikan jalanan licin, membuat mobil sesekali berputar. Dan dalam sekejap ....
Brak!
Tabrakan terjadi di belakang bocah itu. Ia menoleh dan membeku melihat pria yang dikenalnya berdiri, terimpit mobil dan tiang lampu jalan. Dengan sekuat tenaga ia menggerakkan kakinya, menghampiri pria itu. "A ... yah." Matanya tergenang sambil menarik jari tangan yang dialiri cairan merah, kepala mungilnya mendongak tajam membuat tudung jas hujannya terlepas.
"Se ... lamat, ulang ta ... hun." Pria itu melayangkan senyuman pada anaknya sebelum akhirnya ia memalingkan wajah pada sosok hitam yang berdiri menatapnya dari seberang jalan.
***
"Seorang pria ditemukan tewas dengan luka kepala dan patah tulang rusuk di Jembatan Raya, Jaraya, dini hari. Diduga korban tabrak lari ...."
"Seorang pria dan wanita tewas dalam kecelakaan di Tol Raya, Jaraya, pagi dini hari ...."
"Identitas korban belum diketahui."
***
Terima kasih kamu yang sudah vote dan komen.
Terima kasih apresiasinya.
Terima kasih sudah mendukung author 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light-worker
Science Fiction[ORIGINAL STORY] Tretan Arkara berusaha menyelamatkan Profesor Rizal dari ledakan di White Building yang melenyapkannya. Dengan menciptakan mobil waktu, Tretan hendak kembali ke masa lalu dan mencegah ledakan. Namun, bukannya membawa Tretan ke waktu...