Bab 4: Petrichor

344 88 17
                                    







Bab 4. Petrichor





***





"Saya selaku guru BK hanya akan menyampaikan beberapa keresahan saya terhadap kalian belakangan ini. Tiap hari ruang Bk tidak pernah kosong kedatangan orangtua. Itu artinya setiap hari poin penalti kalian melebihi 40 poin. Saya juga lama-lama capek harus bicara dengan orang tua kalian, bagaimana caranya supaya itu tidak terulang lagi. Tapi apa? Sama sekali tidak ada jeranya." ucap Ibu Iriana sabar di atas podium. Menyampaikan amanat upacara.

"Saya disini memperingatkan secara khusus kepada anak-anak bermasalah yang sering keluar masuk BK. Jika sampai poin penalti kalian tidak di kurangi sampai minggu depan, maka saya tidak akan mentroleransi apapun. Saya sudah sabar dan berulang kali memberikan pengertian kepada orang tua yang tidak mau anaknya di scorsing dan menggantinya dengan hukuman lain. Apa sih motivasi kalian jadi harus keluar masuk bk? Hobi kalian? Suka ya di cap anak nakal?" Bu Iriana menghela nafas panjang.

"Nakal itu keren bu." ucap seorang murid dari barisan upacara. Kemudian diikuti sahutan-sahutan lainnya.

"Ya soalnya ciwi ciwi klepeknya sama yang bad boy bu."

"Nggak nakal nggak asik.

"Badboy jadi trend buuu."

"Kami nggak nakal bu, kami cuman menikmati masa-masa indah di sma aja bu, biar ada kenang-kenangannya."

"Tolong diam!" peringat Bu Iriana mendapati suasana jadi tak kondusif.

"Kalian itu adalah generasi penerus bangsa. Akan jadi seperti apa bangsa ini jika pemudanya saja berlomba-lomba buat terlihat nakal. Katanya biar keren. Ngikutin tren itu nggak ada habis-habisnya. Terutama kakak kelasnya, kalian itu panutan untuk adik-adik di bawah kalian. Kurangin badungnya. Kurangin bikin masalahnya. Contohlah murid-murid kebanggaan gentala school seperti Bryan, Axel dan Ammar." ujar Bu Iriana.

"Jangan jadikan mereka sebagai role model kalian." Bu Iriana menunjuk pada kerumunan murid di depan lapangan, yang didirikan karena melanggar aturan Gentala. Ada yang terlambat, ada juga yang tidak memakai atribut lengkap. Barisan itu sudah termasuk Afrega.

"Padahal ini upacara loh. Sudah di peringatkan untuk datang lebih awal. Tapi masih saja ada yang terlambat dengan alasan macam-macam, rumah jauh lah, macet lah, ban bocor lah. Kalau rumahnya jauh dan tau pagi bakalan macet, kenapa nggak berangkat lebih lebih awal? Heran saya sama anak-anak muda sekarang. Kalian sekarang enak, kalau nggak ada yang nganter tinggal pesen gojek. Jalanannya nggak susah, nggak perlu perlu nyebrangin sungai. Lah coba liat saya dulu." kata Bu Iriana geleng-geleng kepala.

"Tuh kan mulai." ucap seorang murid.

"Bosan gue anying, tiap Bu Iriana yang jadi pembina upacara, selalu aja nyeritain gimana susahnya dia buat kesekolah. Nyebrangin sungai lah, sampe-sampe manjat tebing lah, naik perahu lah, sekali pun nyebrangin samudra pasifik gue gak peduli. Capek gue dengernya." ujar siswa yang lain.

"Bu udah bu, liat bu mau hujan nih." Rintik-rintik hujan mulai berguguran, membagi perhatian semua orang pada hujan yang akan jatuh sebentar lagi.

"PULUPULUPULULULULULU AYOOO HUJAAAAN!" teriak seorang siswa amat nyaring.

"JANGAN ADA YANG BUBAR! UPACARA BELUM SELESAI! HUJAN AJA BELUM!" galak Bu Iriana melihat beberapa murid ada yang ingin melipir keluar barisan.

"Ah elah, udah tau rintik-rintik gini masih aja upacara." keluh beberapa siswa.

"Kalian jangan punya mental lemah. Dikit-dikit panas mintanya pengen cepat-cepat selesai upacara. Dikit-dikit mau hujan pengen kabur. Sebagai generasi yang hidup setelah pengorbanan pahlawan masa lampau, seharusnya kalian malu. Perjuangan kalian nggak ada apa-apanya di bandingkan mereka yang harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Tolong untuk lebih menghargai upacara." kata Bu Iriana pada semua siswa siswi Gentala School.

Rival ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang