Bab 22: Mengenang kepergian Jan Fransisco

205 32 15
                                    

Selamat membaca kisah Bryan Alterio Fransisco dan Nastya Aldis Rachely!




















Bab 22. Mengenang kepergian Jan Fransisco









"Ada rindu yang tak pernah habis. Rindu pada seorang ayah." —Anonim











****




Hari makin petang, lapisan langit bertukar jadi oranye. Saat murid yang lain telah sampai di rumah masing-masing, Bryan dan Nastya tak lantas pulang, mereka berdua masih menampakkan diri di rumah lama ini.

"Mau lo apasih!?" Bryan melipat tangan di depan dada. Sungguh tak habis pikir mengapa Mahatma rela menyapu daun-daun yang berserakan di dekat pusara sang ayah. Bryan tak mau percaya. Mahatma bisa saja bermuka dua seperti Om Anton.

Sedangkan Nastya? Gadis itu tak tau menahu. Alhasil dia hanya membisu sejak lama. Nastya punya banyak pertanyaan. Siapa sebenarnya laki-laki berumur 33 tahun itu? Kenapa Bryan malah marah? Bryan nampak tak suka akan kehadiran dia.

Mahatma pun menoleh, "Saya hanya ingin membantu anda, tuan muda." kata Mahatma lalu menaruh sapu itu ke dekat gudang. Halaman belakang rumah sudah bersih. Tugasnya berakhir.

Mahatma merapat ke Bryan, "Sebentar lagi malam. Acara peringatan kematian ayah anda akan di laksanakan sebentar lagi di mansion Mr.Aldebaran." info Mahatma.

Bryan jadi mengernyit, "Gue tau lo bohong!" Bryan tak percaya. Bryan tersenyum miris, Mahatma memang tak pandai menipu manusia genius sepertinya. Setiap tahunnya, peringatan kematian sang ayah selalu di laksanakan di kediaman Bryan sendiri alias Om Anton. Oleh sebab itu juga, Bryan selalu di kurung di ruang bawah tanah saat acara di mulai. Entah karena apa, tapi yang pasti, itu semua karena Om Anton.

Bryan tak pernah menghadiri peringatan kematian ayah. Om Anton mengekangnya setiap waktu. Termasuk di hari suci itu. Om Anton menyuruhnya untuk belajar dan belajar. Saat kerabat terdekat menanyai ketidakhadiran Bryan di peringatan kematian ayahnya, Om Anton selalu menjawab.

"Kau tau sendiri kan jika seorang anak laki-laki tak bisa lepas dari sosok ayah? Bryan, dia hanya menghindar dari luka. Dia belum menerima kenyataan jika ayahnya telah pergi untuk selama-lamanya."

"Saya mengatakan yang sebenarnya, tuan muda." jawab Mahatma.

"Lo pikir gue bisa di bohongi!?" Bryan menatap Mahatma sengit.

"Gue tau niat busuk lo!" Bryan menunjuk Mahatma di depan wajah. Jari telunjuknya menegang dan lurus sempurna.

"Lo di suruh sama tua bangka itu buat nipu gue, kan? Lo pura pura bohong sama gue kalo tempat acara ada di mansion kakek dengan begitu gue bisa ikut lo. Yang aslinya malah ngebawa gue ke hadapan Om Anton!" Bryan menyeringai.

Sebaliknya, Mahatma merenggut nafas sabar. Bryan enggan percaya. Dia rasa first impression Bryan pada seluruh anak buah Om Anton adalah negatif. Bryan pasti berpikiran yang tidak-tidak.

Mahatma konsisten mempertahankan senyum. "Saya serahkan semuanya pada anda, tuan muda. Jika anda tetap tak percaya, tidak papa. Tapi jangan salahkan saya jika anda akan melewatkan malam sakral hari ini."

Rival ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang