Rombongan orang-orang berujubah perak dengan kuda putih mereka yang gagah, melewati jalanan kota yang sepih melompong. Beberapa orang berzirah perak berjalan dibelakang rombongan tanpa kuda dan membawa tombak. Dua dari tiap barisan akan menyebar menuju toko-toko yang tertutup, mereka menggedor pada dinding sihir yang melapisi toko.
Lalu akan segera terbuka, pemilik toko keluar dan mempersilakan para penjaga untuk masuk mengecek toko mereka, apa bila ada pemilik toko yang tidak mau membuka pintu mereka, maka para penjaga itu akan menyodorkan ujung tajam tombak mereka. Bola cahaya emas yang berkilat aliran listik akan muncul dan menyambar dinding toko hingga hancur. Sedangkan pemilik toko akan digiring ke depan tokonya dan dijaga. Apa bila mereka tidak menyembuyikan sesuatu mereka akan dilepaskan, tapi jika mereka menyembuyikan sesuatu maka mereka akan ikut dalam rombonga, tentunya dengan tangan dan kaki terantai pada para kuda yang terus menelusuri jalanan kota tanpa niat untuk berhenti.
Keheningan mencekram itu tidak akan usai walau para penjaga dan Dewan yang diutus meninggalkan jalanan. Mereka akan tetap berdiri di depan toko walau para penjaga sudah tak terlihat. Mereka berwajah pucat—sebagian sudah sejak awal—dengan tubuh bergetar.
Tidak satupun toko atau tempat yang terlewat, pemeriksaan sangat ketat. Sampai-sampai tidak akan mungkin ada yang berhasil lolos dari pengawasan, jika mereka berfikir untuk melarikan diri maka pengadilan akan memutuskan nasip mereka selanjutnya. Penjara atau cambuk di tengah alun-alun kota.
Para Burung Hantu terbang di atas bangunan kota, memantau dengan memutar kepala mereka 360˚ dan tidak akan melepaskan satu titik pun. Mengawasi apakah ada yang bersembuyi atau yang mencurigakan, bahkan mereka bisa melihat kedalam sela terkecil pun dan mendeteksi pergerakan yang mencurigakan.
Pengecekan itu berlangsung cukup lama dan terasa tak akan pernah usai, apa lagi dengan kondisi Beatricia dan Ethan yang tengah berusaha untuk menyelinap dari pengawasan para burung. Dari satu toko ke toko lain yang sudah di cek, menuju alun kota, sembari berdebad kecil.
"cahaya penerang kota," kata Beatricia dengan suara kecil, melirik Ethan yang mengikutinya dari belakang melewati sela-sela sempi toko. Beruntung sela itu masih muat untuk tubuhnya. "pasti berada ditengah-tengah kota."
"di tengah kota hanya ada menara." Peringat Ethan, ikut berbisik. "dan di dalam menara tidak ada cahaya, atau lampu."
"lampu," Beatricia bergumam, memaksa otaknya mengingat sesuatu yang terdengar familiar. "tentu tidak, menara tidak memiliki lampu di dalamnya. Tapi ada api biru di puncaknya."
"api?" Ethan terdengar bersemangat, bahkan dia tidak tahu kenapa dia menjadi senang setelah mendengar kata 'api'. Lalu mengerutkan keningnya. "aku tidak melihatnya saat dilantai paling atas menara."
"memang tidak ada, tapi jika di lihat dari luar ada."
"bagus," Ethan berdecak. "kalau begitu kita akan memanjat naik ke atas."
"ku rasa tidak," Beatricia mengeryit, memikirkan sesuatu yang mungkin bisa membantu mereka ke atas menara. "mungkin aku punya sihir, atau portal yang bisa membawa kita keatas."
"bagus," Ethan menempuk pundaknya. "aku percaya pada mu."
Beatricia mendengus dan berhenti berjalan saat dia sudah berada beberapa meter dari ujung terakhir toko. Mereka merambat menuju ujung yang memperlihatkan cahaya, seperti yang diduga sebelumnya. Pada alun-alun kota pun dikelilingi oleh para penjaga berzirah perak dan membawa tombak.
Beatricia melirik Ethan yang tersenyum miring. "mungkin aku bisa mengatasinya." Kata Ethan terdengar senang dan bangga.
Beatricia segera menggeleng dan menatap ke para penjaga yang berdiri dan berlalu lalang disekitar menara. "tidak, kau akan membuat kekacawan dan menamban keburukan di daftar kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
CURSE OF THE BLACK HEART (END-REVISI)
ParanormalBeatricia Deven hanyalah segelintir dari banyaknya anak 17 tahun dimuka Bumi, dan dari sejumlah remaja yang kesulitan menghadapi masa-masa muda di hidupnya. Karena memiliki tubuh yang gemuk dan penampilan yang buruk, dia kerap mendapatkan kekerasan...