Hutan Gagak dipenuhi oleh kabut tebal, udara dingin dan tipis semakin mempersulit perjalanan Beatricia. Jalanan yang berundak basah dengan akar-akar pohon yang menyembul dari tanah membuat Beatricia harus berhati-hati dalam melangkah.
Berjalan pelan adalah pilihan yang baik, namun sayangnya waktu tak mengizinkan mereka untuk bergerak perlahan dan mementingkan keselamatan diri sendiri. Karena itu, tanpa memperdulikan sudah berapa kali dia terjatuh, tersandung bahkan terperosok kedalam lumpur, Beatricia tetap melangkah dengan cepat.
Kepanikan tak henti meneriakinya untuk bergerak cepat, tujuannya adalah mencari Pintu Hitam yang bahkan tidak dia ketahui di mana letaknya. Entah sudah berapa lama dia masuk semakin dalam hutan yang seolah tidak memiliki ujung, dan sesekali akan menoleh menatap ke belakang. Dia tahu wujud Ethan sudah tak terlihat lagi—mereka semakin menjaduh darinya—dan suara-suara pertempuran yang tak lagi terdengar. Namun Beatricia tetap menoleh ke belakang.
Kenyataan jika dia semakin jauh dari Ethan perlahan menyiksa Beatricia, dia tidak tahu sampai mana batasan pemuda itu dalam pertarungannya. Melihat kondisi Ethan sebelumnya nyaris tidak memiliki kesempatan untuk menang, tidak ditemukannya Godwar ataupun Tessa memperburuk keadaan, entah dimana kedua penyihir itu. Tidak tahu apakah mereka sudah kalah sebelumnya atau menghilang, walau asumsi buruk kabur sangat tidak menyenangkan dan Beatricia pecaya Godwar tidak mungkin melakukannya.
Dan kesecaman membuatnya ragu akan hal itu, pikiran buruk berterbangan di kepalanya yang kalut.
Beatricia melirik Joan beberapa kali, sudah sedari tadi. Dia tidak tahu Joan membawa mereka kearah yang mana. Dan Beatricia hanya bisa mempercayai penunjuk arahnya saat ini.
Sejak tadi Beatricia mencoba menahan diri untuk tidak membuka suara dan fokus ke pencarian mereka. Namun pemandangan Joan selalu mengalihkan perhatiannya. Keadaan pemuda hantu itu, anah, sangat aneh malah. Mereka memulai perjalanan bersamaan—walau Joan sempat menjadikan tubuhnya, yang anehnya dapat menahan tubuhnya dari hantaman batu—hingga saat ini, Beatricia dapat melihat raut kelelahan yang berusaha di sembuyikannya, dimana kerutan pada keningnya membuatnya terlihat tua dalam artian yang berbeda. Bagaimana cara Joan menghela nafas dengan tersendat beberapa kali, bagaimana dia menaiki akar-akar pohon raksasa dengan kesulitan, bahkan beberapa kali Beatricia harus mengulurkan tangan untuk membantu pemuda hantu itu naik.
Melihat Joan seperti itu membuatnya terlihat seperti orang hidup. Dan kenyataan itu menganggu Beatricia.
"sebenarnya, dimana letak Pintu Hitam itu?" tanya Beatricia pada akhirnya, sudah berapa lama mereka berjalan dan tak kunjung tiba di tujuan.
Joan berhanti berjalan—entah Beatricia salah melihat atau memang benar—sembari mengatur nafas yang memburu wajah pucatnya di banyiri banyak keringat yang mustahil dia miliki dalam kondisi itu.
"aku tidak tahu." Kata Joan setelah menarik nafas panjang, Beatricia menatapnya, berharap kalau perkataan itu belum selesai.
Namun setelah beberapa menit Beatricia memandangi wajah datar hantu itu, dia tak kunjung mendengar lanjutan dari perkataannya. Beatricia maju mendekat, dengan segala kekesalannya dia mendorong Joan hingga menabrak salah satu pohon terdekat. Tabrakan tubuh transparan itu terdengar saat punggungnya menghantam pohon.
Beatricia menatap tajam dan Joan hanya menatapnya datar sembari mengatur nafas.
"kau—" desis Beatricia tak percaya. "apa yang kau katakan?!"
"aku tidak tahu dimana letak Pintu Hitam itu berada." Kata Joan tenang, dan tanpa di duga detik berikutnya Beatricia menghantamkan tinjunya dan tepat mengenai pipi Joan yang membuatnya tersungkur ke samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
CURSE OF THE BLACK HEART (END-REVISI)
ParanormalBeatricia Deven hanyalah segelintir dari banyaknya anak 17 tahun dimuka Bumi, dan dari sejumlah remaja yang kesulitan menghadapi masa-masa muda di hidupnya. Karena memiliki tubuh yang gemuk dan penampilan yang buruk, dia kerap mendapatkan kekerasan...