🍁 38. END-FATAMORGANA 🍁

8.9K 282 35
                                    

1

2

3

Dalam hitungan ke tiga, Dokter Wisnu mengakhiri gerak tangan membuka perban mata Khavi. Operasi pasien bernama Khavi berjalan lancar. Tidak ada kendala selama ia menangani Khavi. Hal itu berkat do'a yang dihanturkan orang tua, dan sahabat.

Antusias, manusia di dalam ruangan Khavi sangat besar. Mereka mengerubungi Khavi layaknya gula yang dikerubungi semut. Hari ini, Khavi merupakan objek sasaran.

Alih-alih menyingkir, Ziko, Bobby dan Bian rebutan untuk berdiri di sayap kanan. Pasalnya sayap kiri telah penuh oleh yang lain. Mereka terlambat guys!

Perlahan silau mentari dari kaca balkon masuk ke retina Khavi. Ia belum biasa sehingga perlu penyesuaian beberapa detik. Sampai ia bisa melihat jelas semua senyum terbit menyapa.

Ia melirik semua orang dengan wajah datar tanpa ekspresi. Dari sayap kanan hingga sayap kiri.

"Hy, Khav!" sapa Bian dari hadapannya.

Tidak perlu digubris, ia skip sapaan Bian.

Berpendar ke arah kiri, Marissa memeluknya erat.

"Udah gak gelap lagi kan?" ketika Khavi mengatakan dunianya gelap, Marissa sungguh merasa dunia akan runtuh saat itu jua. Perih rasanya mendengar penuturan putra yang ia besarkan harus menanggung beban.

Balasan senyum singkat Khavi menghilangkan rasa itu. Ia bahagia melihat Khavi tersenyum lagi. Tidak ada harapan apapun dari orang tua selain melihat anaknya bahagia.

"Mama jangan nangis!" tangis Marissa pecah dihadapan Khavi.

Marissa pindah dan kembali berdiri di samping Beni.

Khavi mencuri pandang untuk mencari seseorang. Dari semua orang yang ia lihat, justru orang yang diharapkan tidak ada disampingnya.

Sena yang hadir disana peka dengan tingkah Khavi. Khavi pasti mencari dia!

"Sherly mana?" tepat sekali pikir Sena.

Khavi meminta jawaban pada semua orang dengan menaikkan sebelah alisnya. Tapi tidak satupun dari mereka menjawab. Justru saat mata Khavi dengan mereka bersirobok, mereka mengalihkan pandangan. Seolah menghindari pertanyaan Khavi.

Tidak ada yang berani menjawab, sedangkan Marissa kian bertambah raungannya. Bukan hanya Marissa, bahkan Ziko, dan Bobby turut mengeluarkan air mata tanpa suara.

Tangis mereka tidak menjawab pertanyaan Khavi, malah menambah pertanyaan di benaknya.

"Kok malah nangis?"  Khavi heran, memangnya ada yang salah dengan pertanyaan-pertanyaan barusan.

Sungguh respond mereka membuat Khavi gelisah. Ada apa sebenarnya?

Dari tadi Dokter Bima berdiri di belakang Juan tanpa suara dan sepangetahuan Khavi. Ia telah berada disana sejak Khavi membuka mata.

Ia meremas sebuah amplop yang diberikan Sherly padanya.

Flashback on.

Dokter Bima menunggu Sherly yang masuk ke ruangan Khavi seorang diri. Tadi Sherly memintanya menunggu di luar. Ia yakin Sherly butuh waktu bersama Khavi. Jadi ia hanya bisa menanti dan melihat mereka. Perhatian Dokter Bima tidak bisa beranjak dari Sherly.

Tapi, ia hanya bisa menyaksikan. Walaupun ia sempat bingung mengapa Sherly hanya menonton perbuatan Khavi dari jauh tanpa berani mendekat.

Sherly keluar berurai air mata, hidungnya memerah, dan ia tidak bisa menahan sakit itu saat melihat Khavinya dalam kondisi seperti ini. Cukup ia saja yang menanggung beban, lalu kenapa Khavi juga harus menanggung semuanya?

Fatamorgana [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang