17 | Who is he?

70 32 2
                                    

Happy Reading🌼

***

Untuk kedua kalinya, aku kembali menginjakkan kakiku di ruangan ini. Ruangan kerja yang dilengkapi oleh beberapa alat teknologi yang begitu canggih. Tidak hanya itu, mataku juga menangkap dua buah lukisan besar yang tergantung pada dinding belakang dengan begitu indah.

"Jadi, udah mau cerita?" tanya seorang cowok yang telah datang dengan membawa kotak P3K di tangannya. Aku tidak ingin menjawabnya. Justru kepalaku malah semakin tertunduk karena pertanyaannya itu.

Tidak mempermasalahkannya, cowok itu kini mulai berjongkok di hadapanku. Ia mengeluarkan sebotol obat merah dan juga sebuah kapas dari kotaknya. Dengan telaten, tangannya membuka botol obat merah itu, kemudian menuangkannya sedikit ke atas kapas yang telah ia siapkan. Lalu, dengan begitu hati-hati ia mengoleskannya ke luka yang ada di lututku.

"Awh!" ringisku. Ketika aku merasakan perih di area lututku.

"Sakit ya? Tahan sebentar, biar luka lo bisa cepat sembuh," ucapnya dengan nada lembut, kemudian kembali mengoleskannya lagi. Setelah selesai, kini ia beralih mengambil alih kedua tanganku. Hal yang sama pun ia lakukan, yaitu dengan mengoleskan obat merah itu di kedua telapak tanganku yang terluka.

"BTW, gue senang dengar panggilan lo yang tadi," ucap cowok itu tiba-tiba, yang membuatku mengernyitkan dahi heran.

"Itu pertama kalinya, lo panggil nama gue," ucapnya lagi. Kini pandangannya telah beralih sepenuhnya ke arahku.

Setelah sadar dengan maksud dari ucapannya itu, secepat mungkin, aku berusaha untuk menghindar dari tatapan matanya. "Itu cuma refleks doang, gak usah ge-er," tukasku cepat.

"Mungkin, gue punya satu permintaan sama lo," tukasnya lagi. Kini, aku mulai mengalihkan pandanganku secara perlahan.

"Gue mau, mulai sekarang lo panggil gue pakai nama. Jangan lupa, gue juga senior lo. Jadi, lo harus hormat sama gue," jelasnya dengan nada santai.

Aku menarik kedua tanganku cepat. Seharusnya ia tahu bahwa aku tidak akan mau menuruti permintaannya itu. Menyebutnya dengan embel-embel Kak? Itu tidak akan pernah kulakukan.

Namun, aku kembali teringat akan kebaikan yang baru saja ia lakukan. Oh ayolah, aku akan terlihat seperti orang yang tidak tahu diuntung jika menolak permintaannya. Mungkin, untuk kali ini aku harus menerimanya.

"Oke," ucapku akhirnya.

Sedetik kemudian, aku melihat senyum yang begitu lebar terukir di wajah Kak Bagas. Yah, mulai saat ini aku akan mengubah panggilanku kepadanya.

"Thanks," ucapnya. Aku hanya menganggukan kepalaku saja.

Pandanganku kembali mengarah kepada dua lukisan besar itu. Kini, aku jadi lebih tertarik untuk melihatnya dari dekat. Dengan sedikit tertatih, aku berjalan menuju ke dinding bagian belakang. Walau sebenarnya aku tidak mengerti banyak mengenai lukisan, tetapi dua lukisan ini seperti memiliki makna yang begitu mendalam. Tanpa sadar, tangan kananku terangkat untuk memegang lukisan itu.

"Lo suka?"

Mendengar pertanyaan tersebut, membuatku segera mengalihkan pandanganku. Aku melihat Kak Bagas yang telah berdiri di sampingku sambil menatap ke arah dua lukisan itu.

"Ternyata lo- eh Kak Bagas suka lukisan," ucapku sedikit kikuk. Sepertinya aku belum terbiasa dengan panggilan yang baru ini.

Aku mendengar suara tawa kecil dari mulutnya. "Bukan, ini hadiah dari Nyokap gue," jawabnya sambil tersenyum. Melihat ekspresinya yang seperti itu, membuatku sadar bahwa Kak Bagas begitu sayang kepada Ibunya. Tanpa sadar aku pun ikut tersenyum sambil kembali mengamati lukisan ini.

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang