15 | Niel

80 38 2
                                    

Happy Reading🌼

***

"Cukup diam dan turuti perintah gue kalau lo ingin keluar dengan selamat."

Aku hanya bisa diam mendengarkan apa yang diucapkan oleh cowok songong itu. Sempat terlintas di benakku untuk segera melangkahkan kaki pergi dari tempat ini. Namun pikiran itu langsung sirna, ketika membayangkan diriku yang akan dicegat oleh kerumunan anggota Rigel di depan sana. Bukannya bisa keluar dari tempat ini, justru akan menambah masalah yang baru.

"Kalian semua boleh bubar," tukas cowok itu dengan tegas. Sedetik kemudian, kerumunan anggota Rigel pun telah lenyap dari pandangan mataku. Hanya menyisakan para petingginya saja.

"Ck! Lo gak salah?" tanya seorang cowok yang memiliki kulit putih bersih dengan perawakannya yang tinggi. Wajahnya terlihat kesal, seolah tidak terima dengan informasi yang baru saja dia dengar.

"Gue tau apa yang gue lakuin," jawab si cowok songong dengan nada santainya.

Hingga salah satu dari mereka mengambil inisiatif untuk melangkahkan kaki agar lebih dekat denganku. "Nama gue Zarel. Wakil ketua sekaligus penasihat untuk orang yang lagi sesat," ujarnya dengan santai. Aku melihat ke arah si cowok songong yang tengah memalingkan wajahnya dariku. Seperti dugaanku, cowok songong seperti dia pasti sering kali berada di jalan yang sesat.

Aku mendekatkan diri ke arah Kak Zarel. "Dia pernah sesat?" tanyaku dengan nada berbisik. Mencoba untuk membenarkan dugaanku.

"Sering."

"Ekhem..., lanjut." Belum sempat aku membalas ucapan dari Kak Zarel, cowok songong ini telah terlebih dahulu berbicra demikian.

"Gue Lintang, ketua informasi di Rigel," tukasnya dengan memperlihatkan tatapan tak suka dari wajahnya. Tak ingin kalah, aku pun membalasnya dengan memberikan tatapan angkuhku.

"Zio, panglima tempur." Ketika pandanganku beralih, langsung saja kedua mataku menatap ke arah pemilik mata tajam itu. Refleks, aku langsung mengalihkan pandanganku untuk menghindari tatapan mengerikannya itu.

"Ehm ... gue Aristha. Panggil Ari aja," ucapku yang mencoba untuk tersenyum ramah. Jika kalian berpikir bahwa senyuman ini hanya ditujukan untuk Kak Zarel, itu memanglah benar! Aku sungguh tidak berminat memberikan senyuman berhargaku ini kepada Kak Lintang. Apalagi dengan Kak Zio. Menatap matanya saja aku takut, bagaimana bisa aku tersenyum kepadanya?

"Perkenalan selesai."

Lagi-lagi tanganku kembali ditarik oleh si cowok songong. Tarikan tangannya membawaku ke suatu ruangan besar yang terlihat seperti ruangan kerja. Lupakan dengan ruangannya, yang terpenting sekarang adalah menanyakan maksud dari perkataan cowok itu di depan semua anggotanya.

"Sekarang jelasin! Kenapa dengan santainya lo bilang kalau gue pacar lo?" tanyaku tanpa ada basa-basi sedikitpun.

"Lo gak suka?"

Aku menatap tajam ke arahnya. "Ya, enggak lah!" seruku dengan lantang. Sejak kapan aku suka segala sesuatu yang berurusan dengan cowok songong ini?

"Padahal di luar sana banyak cewek yang ngantri buat jadi pacar gue." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya mendengar perkataannya barusan. Tingkat kepercayaan diri seorang cowok yang ada di hadapannya ini sungguh terlalu overdosis.

"Jangan pernah samakan gue sama mereka! Gue gak seperti mereka!" seruku lagi dengan sedikit penekanan.

Bukannya marah, cowok itu justru tersenyum kepadaku. "Justru itu, lo beda. Semenjak kejadian lo peluk gue kemarin, di situ gue mulai mutusin kalau lo itu pacar gue."

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang