16 | Penguntit Misterius

73 35 5
                                    

Happy Reading🌼

***

Sudah tidak dapat dihitung lagi, mengenai diriku yang selalu saja lupa untuk membawa buku latihan Fisika. Atau lebih tepatnya, tidak pernah mengetahui akan jadwal pelajaran besok. Jika saja mata pelajaran Fisika diajar oleh guru yang ramah dan baik hati, mungkin aku tidak akan khawatir. Namun, yang menjadi permasalahan saat ini adalah Pak Abdul merupakan guru Fisika ter-killer yang pernah aku temui sejagat raya alam semesta ini.

Kalian pernah gak sih mengalami musibah seperti apa yang tengah aku rasakan sekarang? Jika iya, mungkin sekarang kita berada di server yang sama.

Lagi-lagi, aku harus mendapatkan sebuah hukuman. Di tengah teriknya matahari yang begitu membakar kulit, aku harus berdiri di depan tiang bendera ini dengan tangan kanan yang menghormat. Bahkan, aku sampai merasa bosan dengan hukuman yang selalu diberikan kepadaku. Setiap ada masalah, pasti ujung-ujungnya ketemu tiang bendera. Masalah ini, tiang bendera. Masalah itu, tiang bendera. Kalau saja benda ini bisa berbicara, mungkin dari dulu ia akan ngomel-ngomel tidak jelas karena bosan melihat wajahku terus-menerus.

Lama-kelamaan aku merasa sinar matahari semakin memanas dan tubuhku rasanya seperti akan terbakar. Sialnya, waktu hukuman masih berakhir begitu lama. Aku mencoba untuk menghiraukan bulir-bulir keringatku yang terus saja bercucuran dengan begitu deras. Aku harus bisa bertahan sampai hukuman ini selesai kujalani.

Mana gue haus banget lagi. Huh, pokoknya gue harus kuat, batinku mencoba untuk meyakinkan atau lebih tepatnya membohongi diriku sendiri.

🌵🌵🌵

"Ari ... Ari .... Lo itu kapan sih, bisa gak dihukum terus? Gue capek tau gak liat lo dihukum mulu. Emang Lo gak bosen?" Pertanyaan dari Anna membuatku langsung mengalihkan pandanganku. Tanpa dia bilang seperti itu pun sebenarnya aku juga sudah bosan. Tapi mau bagaimana lagi? Sifat ini sudah begitu melekat pada diriku.

"Udah lah, An. Itu udah bawaan dari lahir, jadi gak bisa di uninstall penyakit lupanya," seloroh Mao. Aku sedikit kesal ketika mendengar ucapannya itu. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal bahwa apa yang diucapkan oleh Mao memanglah benar. Sudah sering kali aku berusaha untuk berubah, tapi nyatanya sifat pelupa itu masih juga terus ada.

"Lagian lo sih, Ri. Suka banget cari masalah sama Pak Abdul. Udah tau guru killer masih aja lo kayak gitu," cibir Ara yang membuatku merasa semakin terpojokkan.

"Yaa, mana gue tau! Tanya aja sama sifat pelupa gue, kenapa suka muncul saat jam pelajarannya Pak Abdul!" ujarku yang mencoba untuk membela diri. Sedetik kemudian, aku mendapatkan hadiah jitakan dari Mao.

"Aww! Sakit Mao, Lo kenapa sih!" seruku.

"Gara-gara kelamaan dijemur otak lo jadi meleleh. Lo bisa gak kalau bicara itu di saring dulu, entar kalau ada guru yang lewat bisa habis lo!"

"Ck! Jadi, gue harus gimana? kalian itu sebagai sahabat yang baik harusnya kasih masukkan kek, bukannya malah marahin gue terus," tukasku dengan kesal, sambil mengusap-usap bagian kepalaku yang habis terkena sasaran dari jitakan Mao.

"Gini deh, mulai besok gue yang bakalan nelpon lo pagi-pagi. Gue juga bakalan ngasih tau, buku pelajaran apa yang harus dibawa. Ngerti?" tanya Anna dengan nada seriusnya.

"Bagus tuh, An! Biar Ari gak lupa mulu," ujar Ara.

"Gue sih, yes," tukas Mao.

"Umm, itu.. —"

"Oke, fix! Besok, lo siap-siap aja gue telpon sampai mampus," ucap Anna dengan cepat memotong pembicaraanku. Yah, mungkin ini lebih baik. Daripada aku harus dihukum terus-menerus.

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang