42 | Kembalinya Ari yang Bobrok

11 5 0
                                    

Happy Reading🌼

***

"Ari!! Berhenti gak lo?!!"

Aku hanya mengabaikan seruan dari Mao dan terus berlari dengan riang gembira. Sungguh menyenangkan pagi-pagi bisa berlari bersama dengan salah satu sahabat terbaikku.

"Coba aja kejar gue, wlekk!!" ledekku sambil sesekali menoleh ke arah belakang.

Posisiku dengan Mao kini masih terpaut cukup jauh. Entah apa yang membuat Mao berlari dengan begitu lambat. Biasanya dia akan menjadi yang pertama jika hal itu berhubungan dengan makanan.

Aku masih mengamati gerak-gerik Mao dari kejauhan. Dia terlihat begitu kelelahan dan memutuskan untuk menghentikan langkah kakinya. Untuk sesaat, kami berdua terdiam dengan pemikiran masing-masing. Hingga tanpa kusadari...

"Lo bakalan mati hari ini juga!" seru Mao tiba-tiba dan langsung berlari ke arahku.

Sial! Aku terlalu meremehkan Mao. Kali ini dia berlari dengan begitu cepat. Aku harus bisa kabur darinya.

"Huwaa..., ada macan ngamukk! Tolongg!!" teriakku panik.

Karena terlalu panik, aku sampai tidak memperhatikan dengan benar jalan yang akan kulewati. Hingga akhirnya, langkah kakiku harus terhenti ketika tanpa sengaja tubuhku menabrak sesuatu yang keras.

Dugh!

"Aduh! Siapa sih?!" keluhku sambil mengelus-elus bagian dahiku yang terasa sakit. Aku hanya bisa berharap dahiku tidak akan benjol nantinya, akibat tabrakan yang tak terelakkan tadi.

Tak lama kemudian, aku dapat melihat dengan jelas objek yang ada di hadapanku. Refleks, kedua mataku langsung membulat seketika karena terkejut.

"Eh, Kak Zio? Hehe..," tuturku sambil tersenyum canggung. Tak lupa dengan tangan kananku yang terangkat untuk menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.

Dari kebanyakan orang yang ada di sekolah ini, kenapa harus bertemu dengan dia?! Aku tidak tahu bagaimana nasibku dalam beberapa menit ke depan. Bisa kembali ke kelas dengan aman saja aku sudah termasuk beruntung.

"Hari ini lo bakalan mati di tangan gue!"

Belum selesai aku menghilangkan situasi canggung ini, tiba-tiba saja Mao datang dengan seruannya yang keras. Untuk kedua kalinya aku berada di dalam pitingannya. Pitingan dari seorang Mao yang sungguh kuat.

"Akhh! Iya-iya, ampun! Gue gak usil lagi, ampun Mao!!" seruku sambil mencoba memohon ampun berulang kali.

Entah mendapatkan hidayah dari mana, Mao mau melepaskan pitingannya. "Huh, kenapa coba itu kaki cepet banget sembuh?!" kesalnya.

Aku menghembuskan nafas lega ketika dapat terlepas dari pitingan Mao. Setelah itu, pandanganku menatap ke arahnya sambil tersenyum selebar mungkin.

"Hehe, gak boleh marah Mao, entar cepat tua loh," peringatku sambil terus tersenyum ke arahnya.

"Lo yang tua!!" teriak Mao dengan begitu keras, sampai-sampai membuatku menutup kedua telinga. Bahkan, aku juga menutup kedua mataku karena takut untuk melihat ekspresi Mao saat ini. Sungguh begitu menyeramkan.

"Ekhem."

Mendengar suara deheman dari seseorang membuatku akhirnya membuka kedua mata dan beralih menatap ke arah sumber suara. Suara deheman itu ternyata berasal dari Kak Zio. Jadi, daritadi cowok itu masih berada di sini? Sial! Dia pasti telah melihat semua kegaduhan yang terjadi antara diriku dan juga Mao.

"Eh, masih ada Kak Zio ternyata. Itu ... biasalah Kak. Becanda doang, sesama sahabat," ucapku dengan sedikit kaku.

Aku paksakan diriku untuk tersenyum ke arah Kak Zio. Salah satu tanganku pun kini kuangkat untuk merangkul bahu Mao. Kali ini dia harus membantuku berakting dengan baik.

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang