27 | Bekal buatan Bunda

46 17 0
                                    

Happy Reading🌼

***

Yang namanya kebiasaan emang sungguh susah untuk dihilangkan. Buktinya saja, aku kembali dipertemukan dengan tiang bendera. Namun, aku sedikit bersyukur karena untuk yang kali ini aku tidak dijemur seorang diri, melainkan bersama dengan Mao.

Sebenarnya, aku masih tidak menyangka bahwa Mao lupa untuk membawa buku latihan Fisikanya. Apa mungkin penyakit pelupa bisa menular dengan orang lain? Jika memang benar, mungkin aku juga ingin menularkan penyakitku ini kepada Anna dan Ara. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuatku senang tidak karuan.

"Sial banget hari gue!" keluh Mao yang tepat berada di sebelahku.

Aku tersenyum tipis. "Lo gak sendiri kok, ada gue yang selalu nemani lo di sini," ujarku, yang berusaha untuk memberinya semangat.

Mao masih beruntung karena tidak dihukum seorang diri. Berbeda denganku, yang selalu berada di tempat ini hanya ditemani oleh angin dan juga terik matahari yang begitu menyengat kulit.

"Lo mau ke mana?" tanyaku cepat, saat melihat Mao yang hendak melangkahkan kakinya pergi.

"Ke WC," jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan.

Aku hanya bisa mendengus pelan saat melihat kepergian Mao. Jam pelajaran Fisika masih begitu lama berakhir. Dan sialnya, matahari saat ini mulai memperlihatkan dirinya. Sinarnya yang sungguh menyilaukan seakan mengejek ke arahku yang tengah terkurung oleh hukuman, tanpa bisa pergi ke mana-mana.

Suara langkah kaki yang mendekat membuatku refleks memalingkan pandangan. Cepat sekali sahabatku itu kembali.

"Kak Bagas? Ngapain di sini?" tanyaku dengan wajah yang penuh keheranan. Jam pelajaran masih berlangsung. Lantas, mengapa cowok ini bisa berada di luar kelasnya?

"Menurut lo?" tanyanya balik, dengan raut wajah yang begitu songong. Jangan lupakan sebelah alisnya yang sengaja ia naikkan. Apakah dia berpikir hanya dirinya saja yang bisa melakukan hal itu? Aku juga bisa melakukannya!

"Di hukum juga?" tanyaku lagi.

Tangan kananku mulai terangkat untuk menutupi mataku dari silaunya cahaya matahari. Cowok yang ada di hadapanku ini begitu tinggi, sehingga membuatku harus mengangkat kepala untuk bisa melihat wajahnya.

Mendengar pertanyaan dariku, membuat tubuh Kak Bagas kini telah berhadapan denganku sepenuhnya. Tubuh tingginya itu membuatku terlindungi dari terpaan cahaya matahari yang menyilaukan. Sehingga, aku tidak perlu repot-repot lagi mengangkat tangan untuk menutupi mataku.

Tiba-tiba saja, tangan Kak Bagas terangkat dan langsung mengetuk pelan kepalaku. Hal itu tentu saja membuatku segera melayangkan tatapan tajamku kepadanya. Bukannya merasa bersalah, cowok itu justru menatap balik ke arahku dengan raut wajah datarnya itu.

"Gue gak teledor kayak lo," tukasnya kemudian, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

"Ya terus ngapain di sini?!" tanyaku dengan nada kesal.

"Nemenin pacar teledor gue dihukum."

Baru saja aku ingin bersuara, namun teriakan dari Pak Abdul telah terlebih dahulu terdengar. Sehingga membuatku dan juga Kak Bagas harus memalingkan pandangan kami.

"Kamu! Ngapain kamu di situ?!" teriak Pak Abdul dari koridor sekolah. Bahkan, salah satu tangannya kini telah terangkat untuk menunjuk-nunjuk seseorang yang tengah berada di sampingku.

"Lagi berdiri pak!"

Aku segera memalingkan pandanganku, ketika mendengarkan jawaban aneh yang diucapkan oleh Kak Bagas. Lihatlah! Raut wajahnya saat ini sungguh terlihat santai.

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang