31 | Terungkap

38 18 0
                                    

Happy Reading🌼

***


Brak!

Bunyi suara pintu loker yang tertutup dengan sangat keras. Untuk kali ini, aku mengakui sebagai pelakunya.

"Gue gak salah lihat kan? Foto gue..., foto gue tadi...," ucapku masih dengan perasaan tak menyangka.

Kemarin aku baru saja menemukan begitu banyak kecoa di dalam lokerku. Sekarang, aku kembali menemukan fotoku yang dipenuhi oleh darah. Bukankah ini sudah keterlaluan?

Aku mencoba untuk menenangkan diriku sejenak. Setelah itu, tanganku kembali terangkat untuk membuka pintu lokerku. Dengan hati-hati, aku mengeluarkan benda keramat ini.

"Ri, gue— Astaga, Rii!! Itu foto lo kenapa ada darahnya gituu!!"

Refleks, salah satu tanganku yang masih menganggur kini kugunakan untuk menutup mulut cemprengnya Ara. Bisa gawat jika seluruh siswa atau bahkan guru sampai mengetahui hal ini.

"Ra, gak usah kenceng-kenceng. Entar kalau orang lain dengar gimana?!" ucapku pelan dan disertai dengan penekanan.

Ara hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya saja. Membuatku akhirnya bisa dengan tenang melepaskan bekapan tanganku.

"Sorry, habisnya gue kaget banget," tutur Ara. Pandangannya masih saja tidak lepas dari benda yang aku pegang sekarang.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Kemudian, langkah kakiku mulai membawa diriku untuk mendekat ke arah tong sampah dan segera membuangnya.

Setelah itu, aku kembali mendekat ke arah lokerku. Untung saja hari ini aku membawa saput tangan di kantong rokku. Setidaknya aku bisa menghilangkan noda-noda darah ini.

"Lo ada masalah sama orang lain ya? Kok bisa tiba-tiba foto lo digituin?"

Tanpa menghentikkan kegiatanku, aku tetap mencoba untuk menjawab pertanyaan dari Ara.

"Gue gak tau, Ra. Akhir-akhir ini gue ngerasa ada seseorang yang lagi neror gue," jawabku, tanpa mengalihkan sedikit pandanganku kepadanya.

"Akhir-akhir ini? Berarti sudah lama dong? Dan lo gak kasih tau ke gue sama yang lainnya!" serbu Ara, yang kini mampu membuatku terpaksa menghentikan kegiatanku.

Bagaimana tidak, tangannya kini telah terangkat untuk mengambil alih kain yang tengah aku gunakan. Dari raut wajahnya saja sudah terlihat jelas, bahwa Ara sedang marah kepadaku. Sepertinya, saat ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk menceritakan semuanya.

"Awalnya, gue kira cuma kerjaan orang iseng aja. Karena setelah itu, gue udah gak pernah lagi nerima teror apapun. Tapi, sejak kemarin teror itu mulai muncul lagi," jelasku kepada Ara.

Memang sudah seharusnya aku menceritakan peristiwa ini sama mereka. Karena mau sehebat apapun aku menyembunyikan rahasia, ujung-ujungnya bakalan ketahuan sama mereka. Dan, ini adalah salah satu buktinya.

Melihat respon Ara yang tersenyum membuatku sedikit terkejut. Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya dia menampilkan raut wajah marah?

"Gue senang lo mau cerita. Tapi lain kali, lo gak boleh nyembunyiin apapun dari gue atau yang lainnya. Janji?!" ujar Ara yang berakhir dengan nada penekanan sekaligus ancaman.

Aku langsung saja menganggukan kepalaku. "Iya, gue janji. Gue bakalan ceritain semuanya sama kalian," ucapku dengan senyuman. Tak lupa tangan kananku yang terangkat ke atas, menampilkan jari kelingkingku.

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang