19 | Hukuman untuk Ari

70 26 4
                                    

Happy Reading🌼

***

Motor Honda CMX Rebel milik Kak Bagas kini telah berhenti tepat di depan markas geng Rigel. Tak ingin membuang banyak waktu, aku segera bergerak untuk turun dari motornya dan mulai melepaskan helm yang tengah aku kenakan.

Hingga tiba-tiba saja, aku merasakan tangan seseorang yang sedang menggenggamku. Tanpa melihatnya pun aku sudah bisa menebak bahwa seseorang itu adalah Kak Bagas. Ia membawaku ke depan pintu markas. Dalah satu tangannya yang masih lenggang mulai bergerak untuk mencari sesuatu di dalam kantong celananya. Tak kunjung mendapatkannya, ia memindahkan tanganku pada genggaman tangan yang satunya. Lalu, tangan yang telah lenggang itupun mulai melakukan tugasnya. Setelah berhasil menemukannya, ia segera mengeluarkan benda itu, yang ternyata adalah sebuah kunci.

Dengan santai ia membuka kunci punti itu dan kembali menarikku untuk masuk ke dalam. Berbeda seperti biasanya, kali ini hanya ada diriku dan Kak Bagas di tempat ini. Sehingga suasana terasa begitu sunyi sekaligus mencekam.

"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Kak bagas yang telah melepaskan genggaman tangannya. Aku tak berani menjawab, aku hanya bisa menundukkan kepalaku takut.

"Gue tanya, lo ngapain ngikutin gue?" tanyanya sekali lagi. Lagi-lagi tak berani menjawab, justru aku semakin menundukkan kepalaku.

Hingga aku merasakan sentuhan pada kedua bahuku yang begitu erat. "Arishta, gue tanya sekali lagi sama lo. Lo ngapain ngikutin gue?" tanyanya yang berusaha untuk menahan emosinya.

Aku mengangkat kepalaku ragu. Sekarang, kedua mataku telah sepenuhnya menatap mata hitam legam itu. Pertanyaan yang terus diajukan olehnya terdengar begitu dingin. Namun, tatapan itu seolah mengisyaratkan adanya rasa kekhawatiran yang begitu mendalam.

"Maaf," ucapku akhirnya dengan suara pelan.

Pegangan pada kedua bahuku mendadak telah terlepas. Kak Bagas kini mulai menjauhiku. Tangannya terangkat untuk mengacak-acak rambutnya frustasi. Bahkan, salah satu kakinya tiba-tiba saja menendang sebuah kursi kayu yang ada di dekatnya, hingga menimbulkan suara yang begitu keras. Hingga akhirnya ia memilih untuk duduk di sebuah sofa dengan kedua tangan merapat yang menumpu kepalanya.

Aku hanya bisa diam. Mencoba mengatur pertahanan diriku yang telah dilingkupi oleh ketakutan.

"Lo kenapa nekat banget sih! Dengan lo lari ke tempat itu tadi, sama aja lo udah bawa diri lo sendiri ke dalam bahaya tau gak! Ini masalah gue, biar gue yang tangani sendiri. Lo gak usah ikut campur!" ujarnya dengan nada tinggi.

Sontak, aku terkejut mendengar seruan itu. Aku memang pernah merasakan kemarahan dari Kak Bagas. Namun, untuk yang satu ini sangatlah berbeda. Ia begitu marah kepadaku. Bahkan, wajahnya kali ini sungguh terlihat mengerikan.

Aku segera mengalihkan pandanganku darinya. Perlahan-lahan, kakiku mulai melangkah agar bisa menjauh darinya. Aku sengaja menggenggam erat kedua tanganku supaya tidak terlihat begitu bergetar. Cowok itu telah sukses membuatku ketakutan sekarang.

Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. "Ri, gue gak bermaksud bentak lo. Gue cuma kebawa emosi."

Suara Kak Bagas kembali terdengar di telingaku. Namun, kali ini bukan suara bentakan, melainkan suara yang begitu lembut. Tangannya bergerak untuk menyentuhku. Namun, aku segera menepisnya.

"Ri, lo takut sama gue?" tanyanya dengan suara yang begitu lirih.

Aku menundukkan kepalaku sambil terus menjauhinya. "Gue tau ini masalah Kak Bagas. Kalian bisa tangani sendiri. Tapi, gue kan juga khawatir. Gu-gue cuma takut Kak Bagas sama yang lainnya kenapa-napa. Cuma itu doang," jelasku.

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang