33 | Ari nikung Ara?

34 14 0
                                    

Happy Reading🌼

***

"Gaes, mau cerita," ucapku tiba-tiba, yang membuat seluruh aktivitas sahabatku terhenti. Pandangan mereka kini tengah mengarah sepenuhnya ke arahku.

"Cerita apaan?" tanya Mao dengan muka penasarannya.

Aku menghembuskan nafasku panjang.
"Tiga hari belakangan ini gue selalu nerima pesan ancaman," ujarku dengan nada pelan sekaligus cemas. Aku takut jika mereka akan marah kepadaku karena baru menceritakannya sekarang.

"Tapi lo aman aja kan? Lo gak kenapa-napa kan?" tanya Anna, yang hanya aku jawab dengan anggukan kepala. Dibandingkan marah, Anna jauh terlihat lebih khawatir kepadaku.

"Em, An? Lo masih ngelacak nomor itu?" tanyaku balik, masih dengan nada suara yang pelan.

Anna menganggukan kepalanya. "Tapi tetap gak ada hasilnya," ucapnya.

"Kayaknya lo gak perlu lacak nomor itu lagi deh."

Mendengar penuturan dariku membuat Anna mengerutkan keningnya bingung.

"Emangnya kenapa?" tanyanya.

Aku menghembuskan nafasku panjang. "Karena dia udah gak pakai nomor yang itu," jawabku dengan lemas.

Dari kemarin ponselku tidak pernah berhenti berbunyi. Aku seperti seorang artis terkenal yang memiliki banyak pesan dan juga panggilan dari penggemar fanatic. Jika saja itu memang benar maka aku akan sangat begitu senang. Namun naasnya, penggemar yang aku miliki jauh lebih fanatic lagi, sampai-sampai menginginkan nyawaku.

"Maksud lo?" tanya Anna lagi.

Dari raut wajahnya aku dapat melihat bahwa Anna begitu penasaran dan juga cemas.

"Lo harus cerita."

Sontak, aku mengalihkan pandangan ketika mendengar suara yang begitu dingin. Dan benar saja, suara itu ternyata berasal dari Mao. Raut wajahnya sungguh begitu menyeramkan sekarang. Seakan-akan mengisyaratkan kepadaku untuk segera menceritakan semuanya, atau jika tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.

Akhirnya aku memutuskan untuk segera menceritakan semua yang aku alami kepada mereka. Penjelasan secara detail, tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun.

"... gue selalu nerima setiap satu jam. Tapi, itu dari nomor yang berbeda-beda," jelasku.

"Lo serius?"

"Gue serius, An. Gue selalu save nomor peneror itu. Tapi setelahnya, nomor gak dikenal yang justru masuk," tuturku, berusaha untuk membuat Anna yakin.

"Sini, gue lihat HP lo."

Dengan cepat aku memberikan ponselku kepada Mao.

Tentu saja, Mao pasti tidak akan mudah percaya jika hanya kujelaskan dengan kata-kata. Sepertinya ia ingin melihatnya sendiri melalui ponselku.

"Gak bisa dibiarin! Kita harus cepet nemuin orang itu," tukas Mao yang terlihat geram. Masih dengan raut wajah menyeramkannya.

Aku sedikit terkejut melihat Mao. Aku tidak tahu jika responnya akan sampai seperti ini.

"Mao lo tenang dulu. Jangan bikin Ari tembah tertekan gitu," pukas Anna sambil mencoba untuk meredakan emosi Mao. Hanya Anna yang mampu melakukan itu.

Mao menghembuskan nafas panjangnya. Kemudian mengembalikan ponsel milikku, yang aku terima dengan tetap berusaha menampilkan raut wajahku senormal mungkin.

"Ra, kok lo diam aja? Kasih masukan dong buat sahabat lo. Lo udah gak peduli lagi sama masalah Ari?"

Pertanyaan dari Mao membuatku tersadar dan segera memalingkan wajahku ke arah Ara. Memang benar, sedari tadi aku tidak mendengar Ara mengucapkan apapun. Apakah dia sedang sakit gigi?

ArishtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang