Part 1

51.8K 472 10
                                    

Nadhifa masih serius mengutak-atik mikroskopnya. Ia sibuk mempelajari penampakan bentuk sel-sel darah tepi yang tercetak pada spesimen di slide kaca. Bukan hal asing untuknya. Ia pernah mempelajari perbedaan bentuk-bentuk eritrosit, leukosit, tombosit, neutrofil, dan bermacam jenis sel darah lainnya. Tapi posisinya saat ini sebagai residen Patologi Klinik tahap paling awal, membuat ia mempelajari lagi semua itu. Membedakan mana bentuk normal dan mana bentuk abnormal untuk menentukan diagnosis yang tepat.

"Eh, Mbak Dhifa! Masih sibuk?" Tiba-tiba ada suara panggilan dari belakang.

"Oh, Rasti. Nggak sibuk-sibuk amat sih. Cuma sedikit belajar aja. Biar nggak malu-maluin kalau mendadak ditanya konsulen. Ada apa emangnya?" Nadhifa balas bertanya pada Rasti, sesama residen seangkatannya.

"Nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma kalau Mbak Dhifa nggak keberatan aja sih. Soalnya tahu sendirilah, seangkatan kita berlima cuma saya sama Mbak yang paling enthengan. Lainnya bapak-bapak dan ibu-ibu yang sibuk sama urusan rumah tangga mereka."

Yang dikatakan Rasti memang benar. Residen selain sibuk dengan tugas ilmiah juga masih dibebani pekerjaan non ilmiah semacam mempersiapkan spesimen yang akan diperiksa, memastikan kesiapan alat, sampai membeli galon dan memastikan ada makanan di laboratorium. Dari lima orang seangkatan hanya Rasti yang belum berkeluarga. Otomatis dia yang paling banyak terbebani tugas. Nadhifa sering kasihan padanya sehingga hampir selalu membantu gadis itu selagi bisa. Lagipula sebenarnya juga itu tugas seangkatan. Dan lagi Nadhifa juga tidak ada yang diurus sepulang dari rumah sakit. Fathan, suaminya, mengambil doktoral di Inggris.

"Aku beneran ada perlu mendesak, Mbak. Please ya! Mbak gantiin aku!" Tatapan Rasti sangat memelas, berharap Nadhifa mengabulkan permintaannya.

"Lha aku suruh ngapain? Kamu aja belum bilang ada tugas apa, udah main paksa aja."

"Hahaha ... oh iya malah lupa bilang", Rasti tertawa dengan suara cempreng khasnya.

"Jadi gini, Mbak. Dokter Ferdi rencana mau lembur malam ini. Mriksa semua sampel swab pasien suspect Covid 19. Nah tahu sendiri kan beliau kayak apa. Maunya ditemeni minimal 2 residen kalau cewek. Nggak usah nanya lah siapa yang disuruh. Jelas kita berdua ...."

"Lha trus? Yaudah kan kita kerja bareng. Lalu?" Nadhifa memotong ucapan Rasti.

"Ehehe ... anu mbak ..."

"Kenapa? Kamu nggak bisa? Trus aku suruh nemenin dokter Ferdi sendirian? Emoh ah! Cari mati aja. Tahu sendiri dia nggak mau berduaan sama cewek", Nadhifa menolak mentah-mentah. Meskipun Rasti tidak berucap, tapi ia jelas bisa menebak maksudnya.

"Please, Mbak! Aku udah hubungi yang lain buat nemenin Mbak Dhifa, tapi ya biasalah alasan klasik. Mbak Tere dan Mbak Eke alesan momong anak, Mas Wimi praktik sore di apotik. Maaf banget ya Mbak Dhif, aku harus pulang ke Semarang. Tadi ditelepon kalau Bapak sakit ...."

Nadhifa tentu tak enak hati untuk menolak demi mendengar alasan Rasti. Akhirnya ia menganggukkan kepala tanda setuju meski jauh di lubuk hatinya ada rasa yang mengganjal.

●●●

Usai menunaikan kewajiban shalat Maghrib, Nadhifa kembali ke laboratorium. Ia mengecek dan memastikan sentrifuge, vortex, dan mesin PCR berfungsi baik. Semua buffer dan reagen yang diperlukan juga dicek jumlahnya, jangan sampai kehabisan. Tak lupa menyiapkan printilan kecil seperti mikropipet dan pipet plastik sekali pakai, tabung pemeriksaan, hingga memastikan komputer tidak bermasalah. Terakhir ia menyiapkan deretan VTM dan menyusunnya berdasar waktu ambil spesimen. Yang paling lama jarak pengambilan sampelnya akan diperiksa lebih dulu meski datangnya belakangan. Takut rusak jika kelamaan menunggu.

Memeriksa sampel swab dengan metode RT PCR sebenarnya bisa dikerjakan persiapannya oleh analis laboratoriun. Lalu dokter spesialis PK yang harus menginterpretasikan hasil pemeriksaannya. Tapi itu tidak berlaku untuk dokter Ferdi, dosen termuda di Departemen Patologi Klinik. Jika beliau konsulen jaganya, maka beliau sendiri yang menyiapkan semua PCR dari awal, dibantu residen tentu saja. Alasannya sih biar lebih meyakinkan hasilnya juga sebagai ajang pembelajaran para residen.

Terdengar langkah kaki dan pimtu lab yang dibuka. Rupanya dokter Ferdi sudah datang. Nadhifa pun mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan jawaban jika nanti ditanya.

"Assalamu'alaykum", Ferdi mengucap salam.

"Wa'alaykumussalam."

Ferdi sudah masuk ke ruangan dan kaget karena hanya melihat satu residen yang akan menemaninya malam ini. Tentu saja ia sedikit protes karena itu artinya ia akan berduaan dengan perempuan sampai pagi menjelang.

"Maaf, Dokter. Kalau Dokter keberatan berduaan dengan saya, akan saya hubungi mas Wimi. Mungkin dia bisa menggantikan saya", suara Nadhifa sedikit bergetar karena takut. Ferdi memang dikenal sebagai salah satu konsulen paling galak.

Ferdi tidak langsung menjawab. Ia hanya sedikit terpana saat melihat wanita di hadapannya dengan lebih jelas. Kilasan kenangan masa lalu berkelebatan di benaknya. Meski bukan lagi seorang gadis tapi pesona kecantikan Nadhifa tak pernah pudar, itu diakuinya. Hatinya berdebar-debar tak karuan.

"Nggak usah! Kamu siapkan aja apa yang perlu!" Suara berat Ferdi menutupi detak jantungnya yang tidak beraturan.

Nadhifa dengan cekatan melakukan apa yang diperintahkan Ferdi. Sedikit sekali pembicaraan yang mereka lakukan malam itu. Sepertinya mereka berdua masih canggung. Tak dipungkiri kenangan masa lalu masih mengusik hati mereka. Tapi kedua insan berlainan jenis itu tetap berusaha profesional dengan tugasnya masing-masing.

Tak terasa waktu menunjukkan hampir tengah malam. Ferdi menyudahi pekerjaanya. Ia ingin beristrahat sejenak.

Mengetahui Ferdi berhenti, Nadhifa segera tanggap. Ia menghampiri konsulennya.

"Dokter, ngersakne apa? Biar saya siapkan."

Sekali lagi Ferdi menatap Nadhifa. Kali ini jaraknya lebih dekat. Jadi ia bisa mengamati lekuk wajah Nadhifa dengan lebih teliti. Kecantikan yang nyaris sempurna. Juga postur tubuh yang tetap ramping di usianya yang hampir kepala tiga.

"Bikinkan kopi ya! Semoga kamu masih mengingat takaran kopi favoritku ya, Nana."

Nadhifa terkejut mendengar perkataan Ferdi. Tak ada yang memanggilnya dengan sebutan 'Nana' kecuali orang tuanya dan Fathan, suaminya. Tapi segera ditepisnya rasa kaget itu. Ia segera beranjak ke pantry di belakang laboratorium

"Baik, Dokter", jawab Nadhifa sambil beringsut keluar.

"Nana! Kutemenin, ya! Kamu nggak takut po? Dulu bahkan ke kamar mandi pas jaga ruang bayi aja minta ditemenin", Ferdi berkata setengah mengejek.

"Nggak usah, Dokter. Nanti ngrepotin. Dokter tunggu di sini aja, biar saya sendiri." Jujur sebenarnya Nadhifa juga takut menyusuri lorong-lorong gelap laboratorium. Tapi ditemani dokter Ferdi juga bisa jadi pilihan yang lebih buruk.

"Na, bisa nggak manggil aku biasa aja? Kita cuma berdua. Jadi nggak usah pakai panggilan resmi ya!"

Nadhifa semakin merasa tidak enak. Apalagi melihat Ferdi berjalan mendekat ke arahnya. Ia gamang. Menghabiskan malam bersama lelaki itu di laboratorium jelas pilihan yang tidak menyenangkan. Tapi ia masih harus berdamai dengan keadaan dalam waktu empat atau lima tahun lagi. Dan Ferdi bisa jadi pedang bermata dua baginya. Jika ia bisa membawa diri dengan baik, Ferdi jelas tak akan segan membantu. Tapi jika salah langkah, bisa-bisa Nadhifa masuk ke dalam lubang yang sudah ia gali sendiri.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang