0. Prolog

766 71 11
                                    

Tes, tes, tes-!

Cairan merah amis itu menetes dari ujung pisau tajamnya. Tak ada lagi suara tembakan, umpatan kasar maupun jeritan ketakutan. Hanya tersisa tubuh-tubuh tak bernyawa yang tergeletak di atas lantai dan seorang lelaki bersurai perak yang berdiri tegap di tengah dengan bersenjata pisau tajam. Bau amis memenuhi indra penciuman pada ruangan bobrok tersebut.

Di sudut ruangan, seorang gadis terikat erat di atas sebuah kursi. Surai coklat sebahunya terurai kusut. Pipinya memerah akibat tamparan keras. Darah kering menghiasi sudut bibirnya yang robek. Seragam sekolahnya lusuh dan terkoyak, namun masih mampu menutupi sebagian besar tubuhnya.

Gadis itu menatap lelaki bersurai perak yang melangkah ke arahnya. Tak ada ekspresi terkejut maupun ketakutan. Hanya ada tawa hina yang dikeluarkan dari bibir pucat itu.

"Ahahaha. Benar-benar orang gila..." desisnya pelan.

Tap, tap, tap-!

Lelaki itu menghentikan langkahnya tepat di depan gadis itu. Dia menatap penampilan gadis di hadapannya dan bersiul.

"Mesum," desis gadis itu kembali dengan lirikan tajam. "Alihkan pandangan hinamu itu dari tubuhku."

"Ahaha, untuk apa? Tidak ada bagian yang menarik untuk dilihat."

Lelaki gila itu tertawa dan memainkan pisaunya dengan kelima jari. Sedangkan gadis itu memutar bola matanya malas. Sudah menduga kalau dia akan menjawabnya seperti itu.

"Ternyata memang lebih bagus kalau dibunuh langsung oleh mereka," ucap gadis itu yang langsung dihujani tatapan tajam.

"Sudah kubilang, kan?" Lelaki itu membungkukkan badan, mensejajarkan wajahnya. Seringaian tipis terukir dari sudut bibir lelaki itu. "Kamu tidak akan bisa dibunuh."

"Hmph," tawa gadis itu tertahan. "Oh, ya?"

Ujung sebilah pisau itu yang sedari tadi dimainkan, kini menempel tepat di nadi leher sang gadis. Setetes darah langsung mengalir, sekaligus salah cara yang ampuh untuk membungkam mulut gadis itu.

"Ya. Karena hanya kamu yang selalu menarik di mataku, Karin," ucapnya, bersamaan dengan lepasnya tali yang mengikat tubuh gadis tersebut.

"Hentikan omong kosongmu, Leo," Karin menatap lelaki itu dingin. "Ucapanmu itu sama sekali tidak membuatku senang."

Leo--lelaki gila itu--memojokkan Karin dengan kedua lengannya, menahan pergerakan Karin yang hendak bangun dari kursi. Kemudian merendahkan kepalanya tepat di telinga Karin.

"Karena itu, tidak ada yang bisa membunuhmu, Karin. Seberapa banyak mereka mencoba, hanya aku yang bisa membunuhmu," bisik Leo, diakhiri dengan sebuah tiupan menggoda.

Tiupan dari bibir Leo berhasil membuat Karin bungkam seribu bahasa. Bulu kuduknya seakan berdiri ketika Leo berbalik melepasnya.

"Ahaha, ingat itu, Karin," Leo berbalik memunggunginya dan kembali memainkan pisau tajam itu. "Satu-satunya hal yang tidak bisa kamu lupakan--"

"Kamu benar-benar sudah tidak waras, Leo," desis Karin penuh kebencian.

"--Kamu milikku, Karin. Hanya aku yang bisa membunuhmu."

.
.
.

Kalau saja Karin tidak pernah mengajukan beasiswa ke sekolah elite, Dienga High School.

Kalau saja dia tidak pernah mengenal dan mengemis bantuan Leo saat itu.

Kalau saja ibunya tidak pernah melahirkan dirinya sebelumnya--

"Aku benar-benar membencimu, Leo!!"

--Tidak ada lagi kata 'tenang' di kamus hidupnya.

.
.
.

Author's Note :
Yak ini event Dienga High School Series yg diadakan Forwistree dan mentor saia erdinaaa_

Jangan lupa vote dan komen.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Words : 462 kata.
[08.06.2020]

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang