Setelah tak sengaja menguping pembicaraan dua orang misterius kemarin, Karin jadi sedikit gelisah. Sudah berulang kali dia melakukan hal-hal lain untuk mengalihkan pikirannya, tapi tetap saja tak mampu menghapus rasa gelisahnya. Mencoba berpikir positif pun tetap berujung negatif. Otak dan hatinya memang sulit sekali untuk diajak berkompromi.
Lagipula, siapa juga yang bisa tenang ketika mendengar adanya pembunuh bayaran di sekitarmu? Bahkan, gadis dingin seperti Karin pun terus terbayang-bayang.
"Pagi, Karin." Sebuah suara menyadarkan Karin dari lamunannya.
"Ah? Pagi," ucapan Karin terhenti sejenak ketika melihat siapa si empunya suara. Dia meneguk ludah sebelum menyebut namanya dengan nada rendah, "Leo."
"Kenapa menatapku begitu? Kamu lagi terpesona melihatku, ya?" goda Leo dengan jahil.
Karin langsung memasang tatapan jijik. "Ewh."
Leo yang mulai detik kemarin duduk tepat di depan Karin hanya tertawa pelan sambil menarik kursinya. Sedangkan Karin langsung mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tidak ingin melihat sosok lelaki yang mendapat julukan pangeran sekolah itu.
Sebenarnya, Karin sama sekali tidak terpesona dengan kegantengan Leo. Dia hanya tiba-tiba teringat akan pertemuannya dengan Leo saat bekerja sambilan semalam dan langsung berpikir kalau lelaki itu akan membahasnya di sini.
Ternyata dugaannya salah. Leo malah menggodanya dibanding menanyakan kejelasan part-time Karin.
Apa mungkin laki-laki ini berubah pikiran? Atau ingin memanfaatkan kelemahannya ini? Karin jadi kembali gelisah.
"Ah, Zuko! Cathrine! Selamat pagi. Erina juga, selamat pagi! " Leo kembali menyapa anak-anak kelas dengan senyuman lebarnya.
"Pagi juga, Leo!"
"Wah, tumben datang pagi, Leo. Selamat pagi juga!"
Orang-orang yang disapa pun ikut membalas sapaan Leo dengan wajah sumringah, namun mimik mereka langsung berubah ketika beberapa pasang mata tak sengaja menangkap kehadiran Karin yang duduk di belakang lelaki itu. Tatapan mata mereka berubah menjadi jijik, seolah melihat ada serangga pengganggu di sana.
Sedangkan gadis yang ditatap seperti itu hanya bisa memutar bola matanya malas. Karin mengeluh dengan suara yang sangat pelan, "Geez, sampai kapan aku akan hidup di sekolah neraka ini?"
Untuk memperbaiki suasana hatinya, Karin segera memasang earphone di salah satu telinganya dan kembali menggulir layar handphone-nya. Mencoba mencari suatu hal yang menarik hingga membaca e-book baru yang diunduh kemarin.
Leo yang sedari tadi sibuk menyapa orang-orang, kini menoleh ke belakang dan mengganti posisi duduknya menghadap Karin sambil mengeja namanya, "K-a-r-i-n."
"Err ... ya?" Karin melirik Leo ragu.
"Aku boleh pinjam buku catatan matematikamu yang kemarin?" tanya Leo dengan kedua tangan yang terbuka. Tidak lupa sebuah senyuman lebar terukir di bibirnya.
"Kenapa harus aku? Pinjam ke yang lain saja," ucap Karin dengan dingin.
Sebenarnya, bisa saja Karin meminjamkan buku catatannya, tapi dia sedang malas berurusan dengan orang-orang yang akan menindasnya kalau mereka sampai melihat Leo berinteraksi lebih dengannya. Lagipula tulisannya juga jelek.
"Maunya punya kamu. Gimana, dong?" tanya Leo sambil tetap mengadahkan tangannya dan mengeluarkan jurus senyuman andalan yang bisa membuat hati siapapun luluh.
"Tapi aku tidak mau," jawab Karin tanpa melihat ke lelaki itu.
"Ayolah."
"Tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
LACUNA [✔️]
Romance"Tidak ada yang bisa membunuhmu, selain aku, Karin. Karena kamu milikku." "Leo, aku benar-benar membencimu!" *** Karin, cewek dingin yang selalu acuh akan sekitarnya. Sedangkan Leo, lelaki humble yang ternyata menyimpan sejuta misteri. Pertemuannya...