BUAGH! BUAGH! BUAGH!
Leo kembali melayangkan tendangan dan pukulan kuat berulang kali. Ia tampak liar dan tak kenal ampun. Sama sekali tak memberi ruang sedikit pun bagi penjahat itu untuk mengambil napas.
“Ahahaha! Ayo, tunjukkan bakat membunuhmu itu! Masa kena serangan begini saja udah K.O?” ledek Leo seraya menghentikan aksinya sejenak."Keparat ...." desis penjahat itu penuh kebencian
"Aha! Dasar, pembunuh gadungan!" Leo tertawa kencang melihat lelaki yang mengaku-ngaku sebagai pembunuh itu mulai berdiri dengan susah payah.
“BOCAH SIALAN!”
SRET! SREET!
Dua buah pisau tajam melesat dengan cepat. Hampir saja mengenai mata Leo jika dia tidak menghindar. Pukulan balasan kembali dilayangkan, tapi tangan kanan Leo bergerak lebih cepat untuk menangkap kepalan tangan tersebut. Menahan tinju yang hampir mengenai tulang hidungnya.
“Ahaha? Hanya ini?” tanya Leo meremehkan. Cengkraman pada tinjuan kian mengerat. “Kakekku lebih hebat sepuluh kali lipat dari ini!”
Tak butuh lama baginya untuk menahan, tangan kirinya yang sedari tadi bebas itu kini terkepal dan kembali mengerahkan tinju tepat pada rahang bawah penjahat tersebut.
BUAGH!
“Argh!!”
Penjahat itu mundur beberapa langkah seraya memegangi dagunya yang seakan remuk. Ia meludah dan menyeka sudut bibirnya. Berulang kali ia mengumpat dalam hati, sama sekali tak menyangka kalau anak SMA bisa sekuat ini. Bahkan anak itu sama sekali tidak terlihat takut padanya. Justru sebaliknya, penjahat itu yang mulai merasa gusar.
“Ayo, sini maju! Ahahaha!” seru Leo, sengaja memancing amarah penjahat itu. “Kalau emang gadungan, enggak usah sok jadi pembunuh. Ini masih sore, Bro. Ga pantes tau.”
“Leo ….” gumam Karin yang sedari tadi hanya bisa diam mengamati, kini mulai cemas. Entah kenapa, Leo semakin terlihat sadis dan menikmati semuanya. Lelaki itu benar-benar tampak berbeda.
“Ahaha! Ayo, lawan yang becus!” Leo lagi-lagi memancing lawannya yang kembali terkapar tak berdaya. Ia baru saja ingin menendangnya kembali saat Karin tiba-tiba bersuara lantang.
“Hentikan, Leo!” seru Karin sambil menahan lengan Leo yang bebas. Rahangnya mengeras ketika Leo menatap penjahat itu dengan kesal. “Udah cukup. Dia pasti sudah jera.”
“Udah jera, katamu? Bagaimana bisa kamu tahu?” Leo menoleh, menatap Karin dengan tatapan dingin. Ia berdecih pelan. “Jadi kamu mau membela orang yang sudah berusaha membunuhmu, hm?”
Karin menggeleng cepat. “Bukan! Maksudku—”
“Jangan selalu bersikap lembek, Karin.”
“Apa …?” Karin terbelalak sempurna.
“Cecunguk sampah seperti ini pantas mendapatkannya.” Leo memotong ucapan Karin dengan santai. Tapi sorot mata yang penuh kebencian itu terukir dengan jelas di kedua matanya. “Setidaknya kita harus memberi pelajaran sebelum polisi datang ke sini, kan?”
Buagh!
“Apalagi dia berkata hal-hal yang menjijikkan. Dasar gadungan!” Leo kembali menghajar penjahat itu dengan kuat.
Buagh! Buagh!
Karin meneguk ludah dan menggeleng pelan. Wajah tak acuh yang sering ia pasang, kini lenyap. Rasa gelisah mulai menggerogotinya ketika Leo kembali melayangkan pukulan dan tendangan pada pria di hadapan mereka.Ini sama sekali bukan seperti Leo yang ia kenal.
“AKH!”
Lelaki jahat itu tersungkur tepat di bawah Leo. Karin yang tak tahan melihat sosok Leo yang liar seperti ini segera menarik lengannya, memaksanya untuk berhenti.
“Leo! Cukup! Kumohon!” seru Karin dengan cepat. Ia mencengkram pergelangan tangan Leo erat-erat. “Kamu enggak boleh menyakiti dia lebih dari ini.”
“Tsk, Karin!” Leo menggeram pelan dan menatap Karin dengan gusar. “Tidak ada gunanya membela penjahat seperti dia!”
“Tapi kamu sudah keterlaluan Leo! Kamu bisa—” ucapan Karin kembali terpotong ketika Leo mendorong tubuhnya, menjauh.
“AWAS!”
DOR!
Karin terbelalak sempurna ketika sebuah timah panas mengenai tembok tepat di sampingnya. Seketika itu juga, lututnya lemas. Tembakan itu benar-benar nyata.
“BEDEBAH BRENGSEK!” Leo mengumpat penuh amarah. “Lihat, Karin? Dia ini benar-benar si brengsek yang mau membunuhmu! BENAR-BENAR BRENGSEEEEK!”
Tanpa belas kasihan, Leo menendang pergelangan tangan penjahat itu sebelum sempat menarik pelatuk. Pistol penjahat pun terjatuh tak jauh darinya. Dengan sigap, Leo segera menginjak tangan penjahat itu tanpa ampun.
“Yah, injakan ini enggak akan membuat jarimu patah, kok,” sahut Leo seraya menekan kembali sepatunya, menahan pergerakan tangan penjahat itu. “Rasa sakitmu juga enggak akan seberapa dengan apa yang telah kamu lakukan saat ini.”
“AARRGGH!” penjahat itu menjerit kesakitan ketika merasakan tekanan kuat pada jemarinya. Terlebih ketika Leo menggesekkan sepatunya, sengaja melukai jemari penjahat tersebut. “KUBUNUH KALIAAAAN!”
DOR!
Satu tembakan peringatan memecah atmosfer ketegangan. Beberapa orang berseragam kepolisian mengepung gang tersebut dan mengacungkan pistol ke arah mereka.
“Kami polisi! Angkat tangan!”
***
Selama Karin hidup, ia tidak pernah merasa seburuk ini. Dalam sehari, masalah berat datang silih berganti. Setelah mendapat kabar buruk dari Eva mengenai biaya pengobatan ibunya, kini ada saja orang jahat yang tiba-tiba bilang ingin membunuhnya. Belum lagi Leo yang tiba-tiba muncul dan mencampuri urusannya seenak jidat.
Karin benar-benar tidak habis pikir.
Gosh, apa dunia ini enggak bisa sedikit bersimpati padaku? Apa penindasan di sekolah itu belum cukup untuk menghakimiku, hah? Oh, God … is it my punishment? But, why? Why me?
Lagi-lagi Karin menghela nafas panjang dan menggeleng pelan demi mengusir semua pikiran buruknya. Tapi tetap saja beban di punggungnya benar-benar terasa berat.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan,” sahut Leo sambil menepuk bahu Karin dengan santai. “Orang jahat itu pasti selalu ada di sekitar kita. Jadi santai aja.”
Karin melirik lelaki itu dengan heran. Setelah memberi kesaksian dari kantor polisi bersama Leo dan Eva, kini Leo tengah mengantarnya pulang. Beruntung Eva bisa berpura-pura sebagai wali sehingga mereka tidak perlu mendekam lama di sana.
Tapi tetap saja, kejadian ini benar-benar di luar logika dan prasangkanya. Apalagi keberadaan Leo yang tiba-tiba muncul. Rasanya seperti ada sesuatu yang janggal.
“Leo.” Karin menghentikan langkahnya dan menatap punggung Leo dengan tajam. “Kenapa kamu bisa menemukanku semudah itu?”
Langkah Leo otomatis terhenti. Ia berbalik dan menatap balik gadis yang berada beberapa langkah di depannya. Jelas sekali kalau gadis ini sedang waspada terhadap dirinya.
“Kenapa, katamu?” ulang Leo dengan merendahkan suaranya. “Hmm, kenapa ya?”
“Aku serius, Leo.” Karin menggertakkan giginya kesal.
“Hmm, mungkin takdir?” Leo menyengir, menunjukkan wajah tanpa dosanya. “Aku bertemu dengan temanmu saat aku habis berolahraga. Kemudian ya begitu deh.”
“Enggak usah pura-pura seperti itu, Leo!” ucap Karin dengan penuh penekanan. Ia maju beberapa langkah hingga jarak mereka hanya terpaut setengah meter. “Apa ini bagian dari rencanamu, hah?!”
“Rencana? Apanya rencana?” Leo menatap Karin tak mengerti. Ia tersentak ketika baru menyadari apa maksud gadis itu. “Maksudmu aku sedang merencanakan sesuatu yang buruk di belakangmu, begitu?”
“Ya, siapa tahu saja, kan?” tanya Karin sambil tersenyum paksa. Ia mengacungkan telunjuknya di bahu Leo dan memincingkan matanya tidak suka. “Dari berjuta-juta cowok yang ada di muka bumi ini, kenapa harus kamu, Leo?!”
“Memangnya aneh?”
“Iya.”
“Terus? Kamu lebih memilih diselamatkan om-om mesum, begitu?” tanya Leo yang benar-benar tak mengerti apa yang tengah dipikirkan Karin. “Ah, jadi setelah diselamatkan, kamu justru mencurigaiku sekarang? Iya?”
Karin tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawah, menahan seluruh gejolak frustasi di benaknya. Tanpa sadar, kedua tangannya terkepal hingga buku-bukunya memutih.
“Karin, aku tahu ini aneh. Tapi aku bersumpah ini bukan rencanaku sama sekali,” ucap Leo dengan pelan, berusaha menangkan gadis itu. “Sumpah ya, aku tadi cuma olahraga lari keliling doang. Terus enggak sengaja ketemu sama temenmu itu. Sumpah. Aku sama sekali enggak ada niatan buat nguntit atau ngerecokin hari kamu.”
Karin masih bergeming. Alih-alih menjawab, ia justru membuang muka dan menghela nafas berat.
“It’s okay. Pasti kamu masih syok gegara kejadian tadi. Aku mengerti kenapa kamu jadi mencurigaiku,” ucap Leo seraya menepuk-nepuk bahu Karin. “Tapi kamu jadi seperti bukan dirimu yang biasanya.”
“Diriku yang biasa?” gumam Karin tanpa sadar.
“Iya. Biasanya kamu kan sama sekali ga memedulikan tindakan orang padamu. Bahkan kamu ga boleh membiarkanku menolongmu. Benar-benar cewek dingin,” sahut Leo sambil menggelengkan kepala dan memainkan tangannya ekspresif.
Karin menghela nafas panjang. Ia benci mengakuinya, tapi ucapan Leo benar. Karin benar-benar merasa seperti bukan dirinya yang biasa. Sepertinya masalah hari ini benar-benar mengguncang jiwanya tanpa sadar. Membuat beban yang lebih berat dari sekadar penindasan.
“Maaf,” ucap Karin tiba-tiba. Sepasang iris matanya kembali beradu dengan sorot mata Leo. “Maaf sudah mencurigaimu. Mungkin aku memang agak syok.”
“Tidak apa,” balas Leo seraya tersenyum kecil. “Ayo, kita ngobrolnya sambil jalan aja. Aku takut kamu kemalaman.”
Karin hanya mengangguk sebelum melangkah berdampingan dengan Leo. Laki-laki itu kini tengah mengoceh tentang olahraga larinya dan bagaimana ia bisa bertemu Eva. Diam-diam, ia melirik lelaki di sebelahnya ini.
“Tapi aku masih curiga,” sahut Karin yang tiba-tiba memotong cerita Leo. Ia menoleh, menatap Leo yang kini mengerjap bingung. “Kenapa kamu benar-benar menikmatinya saat menyiksa penjahat itu?”
“Eh?” Senyuman Leo langsung berubah kaku. “Menikmati … apa?"
Karin menimbang-nimbang. Perlukah ia bertanya lebih lanjut? Tapi kalau ia tidak bertanya, Karin tidak akan pernah tahu apa yang dirasakan Leo saat itu.
Karin masih dapat mengingat sepasang mata yang tajam dan kuat dengan wajah yang sangat santai dan sama sekali tidak takut. Ia pun meneguk ludah, sedikit takut kalau tiba-tiba Leo melakukan hal yang sama padanya.
“Reaksimu enggak normal, Leo. Seharusnya kalau orang biasa akan takut, kan?” tanya Karin dengan pelan. “Apa jangan-jangan … kamu … suka menyiksa orang?”
Leo langsung tergelak. “Ahahaha! Mana mungkin?”
“Terus kenapa?” tanya Karin dengan penuh penekanan. “Apa yang membuatmu gila saat itu, Leo?”
“Itu sih karena …” Leo terdiam sebentar, seperti memilah kalimat yang pas untuk menjelaskan ucapannya. “Karena … ingin aja.”
“Hah?” Karin menarik sebelah alisnya, tak paham.
“Itu sudah biasa aku lakukan untuk menciutkan nyali lawan. Apalagi emosiku juga ikut tersulut pas dia bilang mau membunuhmu. Jadi kelepasan deh, hehehe,” jelas Leo sambil cengengesan dan mengusap tengkuknya.
“Kamu … serius?” tanya Karin yang masih terkejut.
“Kamu enggak perlu kaget begitu. Bukannya sebelum aku datang, kamu juga sempat menertawakan dia?”
Karin menunduk dan menggeleng pelan. “Ah, itu beda ….”
“Supaya kamu terlihat kuat, kan?” tebak Leo dengan santai. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ketika mendapati tatapan Karin yang syok karena benar menebaknya. “Ya, kira-kira aku juga begitu.”
Karin menghela nafas dan menggeleng pelan. Ia tidak bisa berkilah lagi.
“Kupikir tidak apa untuk merasa sok kuat di hadapan lawanmu, Karin. Entah itu untuk pertahanan diri ataupun untuk menyemangati diri sendiri,” ucap Leo dengan nada sok bijaknya.
Karin hanya diam saja, memikirkan ucapan Leo yang ada benarnya. Selama ini pun dia selalu diam sebagai bentuk pertahanan dirinya. Seharusnya hal itu bukan sesuatu yang sulit dilakukan di depan penjahat yang tiba-tiba menyerangnya, kan?
Ia melirik Leo yang tengah tersenyum tanpa melihatnya. Entah mengapa ada yang berbeda dari senyuman itu. Tapi tak ingin menaruh curiga lebih dalam, Karin kembali menghapus pikiran itu.
Seberapa ekstrim cara lelaki itu mempermainkan musuhnya, bagaimana pun juga Leo sudah menyelamatkannya.
“Terima kasih, Leo."***
Jangan lupa vote dan review!
Sampai jumpa selasa depan~[1719 words]
[28.07.2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
LACUNA [✔️]
Romance"Tidak ada yang bisa membunuhmu, selain aku, Karin. Karena kamu milikku." "Leo, aku benar-benar membencimu!" *** Karin, cewek dingin yang selalu acuh akan sekitarnya. Sedangkan Leo, lelaki humble yang ternyata menyimpan sejuta misteri. Pertemuannya...