10. Uluran Tangan

119 19 6
                                    

"Hhh ... apa ... aku memang terlahir untuk dibenci?" gumam Karin pelan. "Kenapa ... kenapa jadi seperti ini?"

Air wastafel masih mengaliri telapak tangannya. Ditatapnya pantulan dirinya di cermin toilet. Kemudian ia kembali membasuh wajahnya berulang kali. Menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdetak tak karuan.

Terlalu banyak yang terjadi. Sungguh, Karin jadi semakin tidak paham atas situasinya sekarang. Setelah mendapat percobaan pembunuhan beberapa hari lalu, sekarang ia kembali menjadi target korban kecelakaan di sekolahnya.

Tidak bisakah hidupnya tenang sedikit? Kenapa semakin beranjak ke kelas sebelas, ia justru mendapat bibit-bibit masalah besar? Kenapa juga masih ada orang yang ingin membunuhnya?

Padahal tubuhnya hanya seongok daging penuh dosa. Suaranya pun tak pernah ia keluarkan jika benar-benar bukan percakapan penting di depan khalayak umum. Rupa wajahnya pun tak secantik Maudy Ayunda.

Tapi kenapa seolah dunia benar-benar membencinya? Memang apa yang telah ia lakukan sampai berada di situasi seperti ini?

Karin menggeram pelan dan memijit kepalanya perlahan. Berpikir dan menyusun ulang atas apa yang menjadi masalahnya saat ini.

Pertama, di tengah kondisi perekonomian keluarganya yang tengah hancur, ia harus berusaha menghasilkan sejumlah uang besar demi pengobatan ibunya dan segera menyerahkannya pada Eva. Untuk hal ini ia tidak bisa mengesampingkannya lagi.

Kedua, penindasan. Untuk yang ini, sebenarnya ia tidak masalah asal orang-orang itu tidak menyeretnya ke pihak sekolah. Tapi atas hilangnya Elia? Karin masih tidak tahu apakah ia akan terlibat atau tidak.

Ketiga, percobaan pembunuhan. Ah, yang ini Karin tidak tahu harus bagaimana.

"Tapi kalau aku mati di tangan pembunuh itu sekarang ... siapa yang akan membayar pengobatan ibu?" gumam Karin seraya meringis pelan. "Tapi ... aku juga tidak punya uang ...."

Karin kembali membasuh mukanya. Kemudian menatap pantulan dirinya dari cermin. Ia tersenyum getir. Kedua tangannya meremas ujung wastafel beriringan dengan tawa paksa yang keluar dari bibirnya.

"Ahahaha! Dasar bodoh! Karin, kamu benar-benar bodoh!" Gelak tawa itu kian berhenti ketika Karin kembali menatap pantulan dirinya. "Tapi ... kalau dunia ini memang membenciku, berarti aku memang tidak perlu hidup lagi, kan?"

***

Leo bolak-balik keluar masuk pintu toilet laki-laki. Sesekali melirik pintu toilet wanita yang masih tertutup rapat. Ia tahu Karin langsung masuk ke sana setelah insiden pot yang jatuh itu.

Tapi kenapa tidak ada tanda-tanda kalau gadis itu akan keluar? Karin tak mungkin kan melakukan sesuatu yang mengerikan tanpa sepengetahuannya?

Sudah hampir dua puluh lima menit lamanya ia menunggu. Sementara lima menit lagi, bel masuk akan segera berbunyi. Jika ia tidak masuk sekarang, guru killer biologi itu tak akan menginjinkan mereka untuk masuk.

"Dia enggak ngelakuin hal aneh-aneh, kan?" gumam Leo untuk kesekian kalinya. Ia bersandar pada balkon dan menatap pemandangan luar sekolah. "Yah, siapapun yang akan sengaja dicelakakan seperti itu pasti syok sih ...."

"Siapa yang syok?"

Leo terperanjat dan langsung berbalik ketika mendapati Karin yang tiba-tiba berada beberapa langkah di depannya. Gadis itu dengan wajah dinginnya menatap Leo dengan aneh.

Leo mengerjap kembali. Sejak kapan gadis ini keluar dari toilet?

"Kamu enggak menungguiku di sini, kan?" tanya Karin dengan nada jijik. "Kamu ... mau ngintip?"

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang