22. Kegilaan Leo

133 17 0
                                    

"Bunuh aku sekarang, Leonardo." Karin tersenyum miring dan merentangkan kedua tangannya. "Bunuh aku sekarang dan biarkan mereka tahu kebusukanmu yang sebenarnya."

Leo sedikit terkejut. Ekspresinya sedikit melunak, namun tak membuatnya sama seperti biasa. Sementara Karin tersenyum penuh kemenangan, mencoba melihat bagaimana responnya setelah ini.

Tapi sayangnya, semua tidak berjalan seperti apa yang Karin harapkan. Alih-alih menatap tajam Karin, lelaki itu justru berdecak pelan dan memutar kedua bola matanya malas. Kedua tangannya disilangkan di depan dada dengan kepala yang sedikit mengadah ke atas. Tampak begitu malas menanggapi Karin.

"Kamu pikir aku bodoh, Karin?" tanya Leo dengan sedikit menyindir. Bibirnya sedikit terangkat, membentuk sebuah seringaian tipis. "Aku tidak akan merusak apa yang menjadi milikku secepat itu. Apalagi tanpa adanya kesenangan batin."

Senyuman Karin memudar. Tergantikan oleh sorot mata tajam dan ekspresi begitu defensive, seolah tak membiarkan Leo berhasil menyerangnya begitu saja. Lelaki di depannya ini benar-benar tidak waras.

"Apa ... kesenangan batin?" ulang Karin dengan nada ragu. Ia menatap Leo yang masih tersenyum lebar. Hingga akhirnya Karin terbelalak sempurna ketika menyadari apa yang dimaksud Leo. "Apa maksudmu--"

"Yap. Melihat korban menderita adalah sesuatu yang patut dinikmati, kan?" bisik Leo tepat di sebelah telinga Karin. "Melihat mereka berjuang, struggling, dan kemudian memohon dengan wajah memelas. Ahhh, pasti seru sekali melihat orang menderita."

"Sinting! Tidak waras!" seru Karin dengan penuh amarah. Didorongnya tubuh Leo hingga ia mundur beberapa langkah. Karin menuding Leo dan kembali mengumpatnya. "Orang sepertimu hanya bisa tertawa di atas penderitaan orang! Brengsek kamu, Leo!"

"Oh? Bahkan seorang Karin pun sudah bisa mengumpat dengan kasar, ya?" tanya Leo seraya terkekeh pelan. Ia mendekati gadis itu kembali dan menarik dagu Karin, memaksanya untuk menatap dirinya. "Kalau kamu tahu dari awal tentang wajahku yang sebenarnya, pasti kebencianmu itu akan semakin memuncak ya?"

"Sangat." Karin menjawabnya dengan penuh penekanan. Tak ada lagi getaran di kedua bola matanya. "Aku sudah muak—sangat muak dipermainkan olehmu seperti ini."

"Ahh, aku suka melihatmu bicara seberapa muaknya kamu terhadap aku." goda Leo yang kini semakin mendekat. "kamu sangat mencintaiku ya, Karin?"

Karin langsung menatapnya jijik dan menggeleng cepat seraya mendorong tubuh itu untuk menjauh. Dia tak bisa bertahan lebih lama lagi berada di depan orang semacam Leo.

"Minggir. Aku tidak sudi lagi dekat-dekat denganmu," ucap Karin dengan penuh penekanan.

"Memangnya aku sudah menyuruhmu pergi, hah?" Leo menahan gerakan Karin dan menarik pergelangan tangannya kuat-kuat. Ia mendekatkan wajahnya pada Karin dan berbisik dingin.

"Lepas!" seru Karin seraya memberontak, mencoba melepaskan diri dari genggaman Leo.

"Aku menyukaimu, Karin." Suara lantang itu berhasil menghentikan pergerakan Karin sesaat, membuat sang gadis terbelalak lebar sebelum akhirnya kembali memberontak.

"Hah? Omong kosong apa lagi itu?" sergah Karin seraya menepis tangan yang ingin menyentuh wajahnya. "Memangnya aku akan percaya pada ucapan pembunuh sepetimu, hah?"

"Aku menyukaimu." Leo tersenyum sesaat. "Kalau aku bilang seperti itu, apa kamu percaya?"

"Omong kosong," sergah Karin. Jari telunjuknya terangkat seraya menuding lelaki itu ketika Karin melanjutkan, "Setelah apa yang telah kamu lakukkan selama ini, kamu berani mengucapkan omong kosong itu? Persetan, memangnya aku bakal percaya, hah?"

"Aku serius," jawab Leo dengan penuh penekanan. "Aku menyukaimu."

Karin semakin menatapnya tak percaya. Apa-apaan lelaki ini? Tadi bilang mau membunuh dan mau membuatnya menderita, sekarang malah menyatakan sesuatu yang sangat bertolak belakang. Memangnya Leo kira Karin ini apa? Boneka? Atau barang yang seenaknya bisa dimainkan?

Gila. Leo benar-benar tidak waras.

"Kamu gila ya?"

"Tidak," ucap Leo dengan tenang. "Oleh karena itu, aku menginginkanmu menjadi milikku. Karena kamu benar-benar gadis yang menarik."

Karin langsung mendorong Leo sekali lagi. Tubuh itu pun mundur beberapa langkah sebelum akhirnya menatap Karin dengan tidak percaya. Gadis itu telah menatap Leo dengan penuh kebencian dengan sepasang iris yang sedikit berkaca-kaca.

"Aku tidak butuh omong kosong ini," ucap Karin seraya berbalik. "Tidak akan pernah ada percakapan seperti ini lagi. Aku benar-benar membencinya."

"Tapi aku menyukaimu."

"Sementara aku? Aku ribuan kali lipat lebih membencimu, Leonardo," desis Karin dengan penuh kebencian. Ditepisnya tangan Leo dengan kuat sebelum akhirnya beranjak dari tempat tersebut.

Melihat Karin yang semakin menjauh dari pandangannya, Leo menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya. Sebelum akhirnya bersandar dan menatap langit. Ekspresinya masih tampak kesal dengan sorot mata yang masih tajam.

"Aku benci berada di situasi ini."

***

"Kamu habis kemana?" tanya Alvin ketika Karin datang dua menit sebelum bel masuk berbunyi. "Eh? Pergelangan tangan kamu kok merah? Kamu habis diapain?"

Buru-buru Karin menutupi kembali pergelangan tangannya seraya melirik suasana sekitar yang amat ramai. Kemudian Karin menghela nafas panjang dan menggeleng pelan. Suasana yang sama sekali tidak tepat untuk menceritakannya pada Alvin. Gawat jika ada yang mendengar.

"Aku ... tidak bisa menceritakannya di sini, Vin," ucap Karin dengan pelan. Kedua tangannya terkepal erat. "Intinya, aku muak dengan semuanya. Aku muak ... dengan semua hal yang ada di dalam kelas ini."

"Karin ... semua akan baik-baik saja," ucap Alvin seraya menenangkan gadis itu. "Percayalah, kalau semuanya akan baik-baik saja."

"Aku merasa bodoh kalau masih percaya dengan kalimat penghiburmu itu," gumam Karin yang kini tersenyum kecut. Ia menyandarkan kepalanya di atas meja dan memejamkan mata. "Aku tidak tahu lagi bagaiaman nanti aku meneruskan keberlanjutanku di sekolah ini."

"Maksudmu?" Alvin menarik sebelah alisnya.

"Aku jadi tidak peduli kalaupun suatu hari nanti aku akan mengenaskan di sekolah ini," ucap Karin dengan pelan. "Orang itu kini menargetkanku."

"Hah? Seriusan?" tanya Alvin tidak percaya. "Dia tahu kalau kita melihatnya waktu itu?"

"Mungkin," jawab Karin tak acuh. "Yah setelah dia mengancamku, aku yakin dia telah menyadarinya. Lagipula enggak mungkin kan dia yang pembunuh professional sampai membayar jejak itu ditemuka?"

Alvin mengangguk-angguk perlahan. Kemudian ikut menghela nafas panjang setelah tahu kalau

"Kalau gitu, lawan aja mereka," jawab Alvin seraya bertopang dagu. Diliriknya wajah Karin yang benar-benar kusut.

"Aku tidak akan melawan kalau mereka tidak memulainya," ucap Karin santai. "Untuk saat ini ya. Apalagi karena aku tahu aku tidak punya kekuatan politik untuk melawan kasta yang mereka bangun."

"Memangnya aku bilang politik?" sahut Alvin seraya menyeringai tipis. "Ini bukan saatnya bermain politik dalam sekolah ini. Tapi ini adalah pembalasan dari teman-temnanmu yang telah membuatmu menderita. "

Karin terdiam sejenak, memikirkan tawaran Alvin yang tidak begitu buruk. Kemudian ia menatap Alvin, mencari kesungguhan dari kedua bola matanya. Alvin tampak tidak berbohong dan justru seperti menantikan hal tersebut.

"Gimana, Karin?' tanya Alvin lagi. "Kamu mau mengikuti permainan ini?"

"Deal." Karin mengangguk tegas dan menyeringai tipis. "Ayo, kita lakukan."

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang