"Haah, dari mana uang segitu banyak bisa aku dapatkan?" keluh Karin seraya memijit keningnya yang mulai terasa pening. Diliriknya Eva yang hanya bisa menggeleng dan mengendikkan bahu pasrah. "Kamu enggak ada barang yang bisa digadaiin gitu, Kak? Aku pinjem deh."
"Kalau ada, pasti aku sudah kasih ke kamu, Rin," ucap Eva dengan sedikit kesal. "Aturan tuh kamu bayar aku juga. Aku nih ya udah kayak asisten ibu kamu tahu."
"Ya maaf, Kak. Aku cuma pelajar biasa yang enggak punya duit banyak," sahut Karin seraya memelas. "Kalau saja pohon duit itu beneran nyata, pasti langsung kutanam deh. Serius."
"Dih, kalo mau ngehayal itu jangan ketinggian, Bu." Eva menggeleng dan melirik Karin dengan sedikit aneh. Tidak biasanya Karin bercanda seperti itu. "Tapi, iya juga, sih. Percuma juga aku ngarepin bantuan dari kamu."
"Iya, jangan berharap ke aku. Aku enggak bisa janji apa-apa," sahut Karin dengan pasrah.
Selama Karin hidup, dia tidak pernah merasa seburuk ini. Meski dia sering ditindas pun, Karin jarang sekali menggubris perasaan maupun tekanan yang didapatnya.
Kalaupun dia lelah, ia hanya tinggal melampiaskan semua kekesalan pada luka fisik. Menggoreskan diri dengan pisau atau cutter, lalu emosinya akan reda.
Tapi kalau soal uang, Karin tidak bisa hanya sekadar pelampiasan. Ia harus memiliki aksi nyata lain supaya bisa menghasilkan pundi-pundi uang.
Tapi masalahnya, bagaimana caranya? Apa dia harus keluar dari tempatnya sekarang dan mencari tempat kerja sambilan yang lebih baik? Tidak mungkin. Itu pilihan terburuk. Karin tak akan bisa mendapatkan tempat kerja terenak dan teraman selain di sana.
Bergelut dalam pikirannya sendiri, Karin pun tak bisa fokus. Beberapa kali ia tak sengaja menabrak orang, membuatnya disalahkan kembali. Karin hanya bisa menggumamkan kata 'maaf' dan berlalu tanpa memedulikan respon orang.
Berbeda dengan Eva yang suka memperhatikan setiap langkah orang. Saat ia tak sengaja menoleh ke belakang, tak sengaja sorot matanya beradu pandang dengan seorang lelaki bertubuh besar yang berjalan di kejauhan.
Sorot mata yang tajam dan penuh nafsu itu sontak membuat Eva langsung berbalik dan memutus kontak mata itu. Benar-benar tatapan yang mengerikan.
"Karin." Eva merendahkan suaranya, berbisik tepat di sebelah Karin. "Kamu ... ngerasa ada yang ngikutin kita enggak?"
"Hah?" Karin menarik sebelah alis. Kemudian ikut merendahkan suaranya. "Tahu darimana?"
"Serius. Coba kamu pura-pura lihat ke belakang," ucap Eva yang berusaha agar terlihat tenang. Tapi getaran dalam ucapannya terdengar jelas. Gadis perawat itu tengah menahan rasa takut.
Karin pun akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak di kedai es krim. Setelah memesan dua cone es krim triple choco, ia pura-pura mengedarkan pandangan dan mencari orang yang dimaksud Eva.
"Dia pakai baju apa, Kak?" bisik Karin tanpa menatap Eva. "Aku bingung yang mana yang kamu takutin."
"Err ... jaket sama topi hitam? Pokoknya badannya besar gitu."
Karin mengernyitkan dahi. Tidak ada orang yang tergambarkan seperti deskripsi Eva. Rata-rata pejalan kaki berlalu-lalang mengenakan kaos bebas dan celana pendek, mengingat suhu hari ini lumayan panas.
"Dua triple choco telah jadi. Selamat menikmati." Suara penjual es krim menyadarkan Eva yang tengah bersandar cemas.
Setelah mengambil pesanan dan membayarnya, Karin dan Eva segera beranjak dari sana. Karin yang terlihat tak menaruh curiga lebih lanjut akhirnya bisa menikmati es krim kesukaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LACUNA [✔️]
Romance"Tidak ada yang bisa membunuhmu, selain aku, Karin. Karena kamu milikku." "Leo, aku benar-benar membencimu!" *** Karin, cewek dingin yang selalu acuh akan sekitarnya. Sedangkan Leo, lelaki humble yang ternyata menyimpan sejuta misteri. Pertemuannya...