6. Demi Orang Terkasih

174 28 4
                                    

"Hei, kenapa kamu malah murung?" tanya Leo yang mengikuti langkah kaki Karin.

Setelah terbebas dari Pak Javid, kini mereka berdua tengah menuruni anak tangga. Karin berjalan di depannya, tampak sedang memikirkan pertanyaan Pak Javid tadi. Sedangkan Leo yang menyadari perubahan air muka Karin, kembali kepo seperti biasa.

"Kamu kepikiran sama Elia, ya?" tebak Leo lagi.

"Enggaklah. Itu bukan urusanku," jawab Karin dengan cuek. Dia memalingkan wajah ketika Leo justru menatapnya dengan penuh selidik. "Apa lagi?"

"Kupikir kamu memikirkannya," sahut Leo sambil mengalihkan pandangannya. "Tapi Elia itu memang orangnya terlalu naif dan mudah percaya sih. Jadi mudah dibohongi. Dia juga pernah hilang saat kecil. Tapi langsung ketemu sih. Trus dia itu ...."

Karin hanya diam, mengacuhkan Leo yang justru menceritakan Elia saat kecil. Sejujurnya, ia tidak peduli akan cerita Leo. Karin hanya memikirkan bagaimana bisa Elia benar-benar menghilang setelah menindasnya kemarin. Ini suatu kebetulan yang mengerikan.

Kalau Karin salah jawab saat interograsi tadi, pasti ia akan ikut terseret dalam masalah besar. Padahal jelas Karin tidak tahu apa-apa atas insiden itu.

"Tapi setidaknya, kamu senang kan kalau tidak ada yang menindasmu lagi?" pertanyaan Leo kali ini menyadarkan Karin dari lamunannya.

"Hah?"

"Bukankah kamu sudah lelah ditindas, Karin? Tidak apa kan kalau kamu merayakan kebebasanmu sesaat?"

Karin menghentikan langkahnya sesaat dan menatap Leo dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara Leo hanya memasang cengiran tanpa dosa yang biasa ia tunjukkan.

Pertanyaan macam apa itu? Apa dia pikir aku benar-benar enggak punya hati? Pikir Karin.

Karin tidak paham apa yang dipikirkan Leo sampai berucap seperti itu. Dibandingkan senang, Karin justru kasihan melihat ada orang hilang, apalagi di sekolah. Sekalipun orang itu adalah salah satu penindasnya.

Lagipula kalau salah satu penindasnya hilang, bukan berarti dia terbebas kan? Masih ada beberapa anak yang masih suka menindasnya. Justru kalau mereka tahu kemarin Elia menghilang setelah menindasnya, bisa-bisa Karin semakin diolok dan diperlakukan semakin parah.

"Kamu senang, kan?" Leo kembali bertanya dengan nada bercanda.

"Kamu salah," ucap Karin pelan dan menghela nafas berat. "Aku sama sekali tidak senang."

Leo menautkan kedua alisnya bingung. "Eh? Kenapa?"

Karin memalingkan wajah ke arah gerbang sekolah. "Karena itu artinya aku akan terseret ke masalah yang lebih besar."

Setelah itu, percakapan mereka usai begitu saja ketika Karin meninggalkan Leo tanpa mengucap kata perpisahan. Gadis itu tak lagi peduli mengenai masalah Elia yang tidak jelas atau masalah penindasan lainnya. Lagipula dibandingkan membicarakan Elia, masih ada sesuatu penting yang tengah menunggunya saat ini.

Sementara Leo tampak puas dengan ucapan Karin. Ia bahkan menyeringai tipis sambil mengamati punggung gadis itu yang menjauh.

"Sampai berpikir sejauh itu ... kamu memang menarik, Karin."

.
.
.

Biasanya sepulang sekolah, Karin akan pergi ke tempat kerja sambilannya. Tapi karena ini hari yang spesial, maka dia kembali minta izin pada bosnya untuk kembali mengambil cuti. Mau tidak mau, Karin terpaksa potong gaji di akhir bulan karena sudah dua hari berturut-turut tidak masuk kerja.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang