23. Pembalasan

100 16 1
                                    

Untuk pertama kalinya dalam hidup Karin, gadis itu baru bisa merasakan kebebasan setelah mengiyakan ajakan Alvin. Bukan berarti penindasannya selesai. Tidak, justru mungkin semakin parah karena Karin akhirnya berani melawan mereka.

Tapi entah kenapa, Karin baru merasa puas.

Sebenarnya sederhana, Alvin hanya mengajarinya bagaimana untuk melindungi diri sendiri dan membalas perbuatan mereka secara halus. Jangan sampai ada getaran di mata ataupun tubuh demi menyamarkan ketakutan. Lalu langkah terakhir, memasang wajah puas dengan senyuman licik setelah mereka menatap tak percaya atas apa yang telah Karin lakukan.

Contohnya seperti saat ini.

Dua orang gadis kelas sebelah yang tiba-tiba melabraknya berhasil bungkam setelah Karin menamparnya kencang-kencang. Masalahnya sangat sepele, yaitu hanya karena ia terlalu dekat dengan Alvin setelah mendekati Leo.

Jelas saja Karin tidak bisa menerima spekulasi gila itu. Apalagi setelah mendapat siraman air coca cola di rambutnya.

"Penjilat!" seru gadis pirang di hadapannya dengan ganas. Ia masih memegangi pipinya yang panas. "Aku tidak akan diam! Dasar cewek kurang ajar! Habis ngerebut Leo, sekarang malah giliran Alvin yang kamu dekati! Cewek—ukh!"

"Oh ya ampun. Mulutmu itu ... ingin sekali kujahit ya?" tanya Karin dengan nada rendah. Ia menahan pergelangan tangan gadis itu dan menariknya, menghujaninya dengan sorot mata tajam. "Kalau aku penjilat, lalu kamu ini apa? Rendahan?"

"Berani-beraninya ....!"

"Kamu pikir aku takut?" bisik Karin dengan pelan. "Kamu pikir aku masih akan diam setelah kamu seenaknya menumpahkan coca cola ke rambutku ini, hah?"

Gertakan itu cukup membuat sang gadis gemetar hebat. Pasalnya, ia tidak pernah melihat sisi keras Karin yang seperti ini, sehingga setiap kata yang Karin ucapkan bagai sihir yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Heh, orang-orang seperti kalian mana mungkin bisa mengerti apa yang rakyat jelata pikirkan?" ucap Karin seraya memasang senyuman meremehkannya. "Kalian pikir kalian punya semuanya, kan? Harta, kekayaan, dan permainan politik. Ahh, kekuatan uang sungguh menakjubkan, bahkan sampai bisa membeli perasaan orang lain. Bukan begitu?"

Gadis yang berada dalam cengkramannya itu meringis. Sementara gadis yang sedari tadi melihatnya hanya bisa bungkam, tak ada lagi nyali yang begitu berani melawannya.

"Tapi apa kalian enggak tahu kalau tindakan itu justru membuat harga diri kalian ... rendahan?" bisik Karin tepat di telinganya. Dengan penuh penekanan di kata terakhir, Karin menghempaskan tangan itu dengan sekali sentakan. "Kalian tidak ada bedanya dari sampah."

PLAK!

Satu tamparan keras kini melayang di pipi Karin. Tapi ia sama sekali tak menunjukkan wajah terkejut, melainkan wajah puas karena gadis di hadapannya itu berusaha menyangkal ucapannya.

"Cewek sialaaan!" gadis itu kini menarik kerahnya erat, mencengkramnya dengan sekuat tenaga. "Bisa-bisanya kamu tersenyum setelah mengata-ngatai-ku!"

"Lihat? Bahkan sekarang kamu menamparku karena tidak terima atas apa yang telah kuucapkan," sahut Karin seraya mengendikkan bahunya. Ia menyunggingkan seringaian tipis. "Padahal apa yang kuucapkan itu kenyataannya, kan?"

Sebelum gadis itu kembali menamparnya, sebuah tangan menahan pergelangannya dari belakang. Melihat lelaki di belakang mereka, Karin menghela nafas dan mengangkat tangan, menyerah karena sedari tadi ia tak memberi perlawanan lagi.

"Sudah cukup tampar-tamparannya, nona-nona?" tanya Alvin yang tiba-tiba muncul. Dilepaskannya pergelangan tangan itu sambil menatap gadis pirang di hadapannya. "Aish, ya ampun. Kenapa orang-orang suka menindas yang lemah sih di sekolah ini?"

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang