21. Ancaman

102 18 1
                                    

"Kamu tidak boleh mati, selain di tanganku, Karin." Seringaian itu semakin lebar seiring dengan bisikan yang begitu terasa dingin. "Karena kamu milikku."

Karin tersentak tak percaya. Ditatapnya sepasang netra di hadapannya itu dengan sisa keberanian yang ia punya. Ia tak bisa menebak apa yang sebenarnya Leo pikirkan saat ini. Lelaki itu penuh misterius dan benar-benar suka sekali membuat kejutan.

Siapa sangka kalau ternyata sang Pangeran Sekolah benar-benar mengancamnya saat ini?

Karin seharusnya sudah menyadari sejak lama kalau di balik topeng yang mengesankan itu hanya ada kebusukan semata yang dipoles begitu apik. Menyembunyikan segala jejak kejahatan dan menyamarkan alibinya selama ini dengan segala kebohongan yang manis.

Benar-benar tidak bisa dipercaya. Kenapa juga banyak orang yang tertipu dengan segala wajah palsu Leo? Karin tidak habis pikir ada orang sebusuk ini.

Yah, seharusnya ia tidak heran karena di sekitarnya pun masih banyak yang begitu busuk. Tapi bedanya, Leo benar-benar menyimpan kebusukannya itu dengan amat rapi. Seolah tak membiarkan orang lain tahu sosok apa dia sebenarnya. 

Tak kunjung menjawab, cengkraman Leo mengerat seraya memincingkan matanya lebih tajam. Karin meringis perlahan seraya melirik rasa sakit di pergelangan tangannya. Pergelangan tangan yang sedari tadi dicengkram kuat-kuat oleh Leo itu kini mulai memerah.

Ah, dia ini benar-benar serius, ya? pikir Karin. 

"Menyenangkan ya buatmu berbicara seperti itu?" tanya Karin yang mulai membuka suara.  Ia menghela nafas dan menggeleng pelan. "Mencoba menakutiku dan mengungkapkan kalimat ancaman itu. Kamu serius ...?"

"Apa aku terlihat main-main, Karin?" Leo kembali berbisik. "Aku benar-benar serius loh. Aku tidak pernah seserius ini dengan sesuatu yang akan menjadi milikku."

Karin terdiam sesaat dan menatapnya aneh. Ingatannya beralih pada tempo hari dimana ia menemukan sosok Leo yang telah mencabut nyawa seseorang dengan santainya. Entah itu memang benar-benar Leo yang membunuhnya atau tidak, Karin tidak tahu karena dia hanya bisa bersembunyi saat itu. 

Tapi, jika memang benar Leo adalah seorang pembunuh, bukankah ini benar-benar gila? Atau jangan-jangan dia adalah seorang psikopat? Karin mengerutkan keningnya. 

"Memangnya siapa kamu ...?" Karin kembali membuka suara. Ia menggeram kembali. "Kamu bukan siapa-siapaku. Aku juga bukan milikmu. Jadi, kamu sama sekali tidak berhak menentukan aku akan mati di tangan siapa!"

"Takut, Karin?" tanya Leo dengan nada sarkasnya. "Bukankah kamu selalu ingin mengakhiri hidupmu? Kehidupan yang amat tragis dan menyedihkan itu? Bukankah kamu selalu ingin mengakhiri semuanya dan menggoreskan pergelangan tanganmu itu, Karin?"

Karin kembali tersentak. Tapi seketika itu juga, wajah terkejutnya langsung berganti dengan tawa hambar yang terdengar begitu meremahkan. Ia balas menatap Leo dengan tajam dan tersenyum kecut.

"Takut? Yang benar saja!" sergah Karin dengan kesal. "Jangan sok tau ya, Pangeran Sekolah yang Terhormat. Jangan karena beberapa hari kamu mendekatiku dan sekarang jadi sok tau tentang kehidupanku."

"Oh? Kamu benar-benar menarik, Karin," bisik Leo seraya menyentuh ujung-ujung helaian rambutnya. "Tadi keringat dingin, sekarang bertindak sok kuat. Benar-benar mengesankan. Aku jadi semakin ingin memilikimu."

Karin menyentakkan tangannya kuat-kuat hingga cengkraman itu terlepas. Didorongnya lelaki itu hingga jarak mereka terpaut satu meter. Kemudian Karin mengepalkan kedua tangannya dan menggertakkan giginya.

"Aku tidak akan termakan omonganmu lagi," bisik Karin dengan tajam. "Dan aku bukan milikmu. Ataupun barang yang bisa kamu mainkan begitu saja."

Leo tidak membalasnya, melainkan hanya tersenyum tipis. Senyuman yang begitu tenang tapi mematikan. Senyuman yang jarang sekali ia tunjukkan, kecuali untuk sesuatu yang membuatnya menarik.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang