16. Teman Lama

85 17 4
                                    

Karin melangkahkan kakinya menyurusi lorong rumah sakit, mendahului langkah Leo yang berjalan di belakangnya. Lorong serba putih yang selalu menyambutnya kini agak ramai akan lalu lalang pasien dan perawat.

"Wah, ternyata lumayan ramai juga ya. Padahal udah sore," ucap Leo, berbasa-basi untuk mengurangi atmosfer berat yang mengudara ketika mereka menginjakkan kaki di gedung ini.

Karin hanya mengangguk sekenanya tanpa menoleh ataupun melirik perubahan wajah Leo.

Merasa diacuhkan, Leo kembali mengubah topic. "Kamu sering ke sini?"

"Jarang," jawab Karin singkat.

"Kenapa?" tanya Leo seraya mengangkat sebelah alisnya. "Apa gegara pekerjaan sampinganmu itu? Atau kalian memang enggak akur?"

Karin hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata. Entah kenapa ia begitu malas menanggapi pertanyaan Leo yang menyinggung persoalan pribadinya. Terlebih ia memang tidak terbiasa untuk bersikap terbuka.

"Kenapa?" tanya Leo lagi. Kini ia melangkah di samping Karin dan memperhatikan raut gadis itu. "Apa kamu ga peduli ibumu?"

Karin mendengus. Pertanyaan macam apa lagi ini? Apa dia enggak bisa menebak sesuatu yang logis? Leo benar-benar gila.

"Jadi benar?" tanya Leo yang kini melebarkan bola matanya. "Astaga, Karin--"

"Bodoh. Kalau aku enggak peduli, aku enggak akan mengemis bantuanmu," sahut Karin seraya memutar bola matanya kesal. "Ibuku hanya tak mau aku selalu ke sini tiap waktu. Lagipula ibu sudah punya asisten yang selalu menjaganya."

"Ah, ayahmu, ya?" tanya Leo lagi.

"Ayah?" ulang Karin dengan getir. Ia berdecak dan melirik Leo tajam seolah tak menyukai tebakan Leo. "Bukan. Dia wanita biasa yang udah lama bekerja dengan ibuku."

Leo mengerjap beberapa kali menyadari ekspresi Karin yang berubah pahit. Sepertinya ia telah menyinggung sesuatu yang membuat Karin masam seperti ini.

"Apa--"

"Sudahlah, diam saja. Aku risih ditanya-tanya terus."

Leo langsung bungkam seribu bahasa ketika Karin berucap dengan begitu dingin. Tak ingin mempermasalahkannya terlalu dalam, akhirnya Leo hanya mengusap tengkuk dan menggumamkan kata 'maaf' berulang kali.

"Maaf-maaf, kamu marah?" tanya Leo hati-hati.

"Aku risih," jawab Karin dengan penuh penekanan. "Jangan berpikir kalau aku bakal mudah terbuka padamu."

Leo menghela nafas kemudian mencibir pelan. "Tidak bisakah kamu bersikap manis sedikit?"

"Apa?" Karin langsung mendelik tidak suka.

"Enggak! Bukan apa-apa," sahut Leo cepat. "Aku diam. Aku enggak ngomong lagi."

Leo akhirnya benar-benar diam ketika Karin masih menyorotinya tajam. Tak suka dengan tatapan Karin yang begitu menusuk, Leo langsung mengalihkan pandangannya. Meski dia sudah terbiasa dengan wajah dingin dan keketusan gadis itu di sekolah, ia juga risih kalau di tatap seperti it uterus.

Selang beberapa saat, ekspresi Karin justru melunak ketika menyadari beberapa orang pasien yang menyapanya dengan senyuman. Tak hanya sekali, tapi berulang kali Karin membalas senyum pada beberapa perawat yang menyapanya.

Leo mengerjap tak percaya. Lelaki itu tidak pernah tau kalau ternyata Karin memiliki sikap manis yang tak pernah ia tunjukkan di sekolah. Benar-benar sebuah kesempatan langka bagi Leo.

"Ah, Karin!" Sebuah suara memanggilnya dari belakang.

"Hai, Kak Eva!" Karin tersenyum tipis ketika Eva berdiri di hadapannya sambil membawa beberapa tumpukan map di tangannya.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang