24. Penculikan

101 16 0
                                    

Sepanjang jam pelajaran, Karin  sama sekali tidak bisa konsentrasi pada pelajaran fisika yang tengah diterangkan di depan kelas. Meskipun yang mengajar adalah salah satu dari guru killer, tapi tetap saja rasanya rumus-rumus itu menguap begitu saja dari kepalanya. Ia justru terusik dengan ucapan Alvin sebelum masuk kelas tadi.

Karin ingin tahu apa yang Alvin dengarkan dari percakapan Leo di telepon. Apa benar dia sejahat itu? Apa memang membunuh orang sudah menjadi kewajiban baginya?

Karin menghela nafas panjang dan melirik Alvin. Sang sumber informan malah santai-santainya mencoret-coret halaman belakang buku, mencoba membunuh kegabutan.

Karin menghela nafas panjang dan bertopang dagu. Jemarinya mengetuk-ngetuk kulit meja kayu tak sabar. Diliriknya langit di luar jendela yang dipenuhi gumpalan kelabu. Angin pun mulai tampak tak bersahabat. 

Ah, sepertinya akan turun hujan deras sebentar lagi.

"Psst, dari tadi guru itu memperhatikanmu," bisik Alvin seraya menyikut lengan Karin, menyuruhnya untuk fokus ke kelas. "Jangan liat keluar, Karin."

Karin hanya mengangguk dan kembali menatap papan tulis putih dengan pandangan kosong. Benar saja, tak lama pandangannya beradu dengan guru killer itu. Buru-buru Karin meraih pulpen dan pura-pura mencatatnya. Dia tidak mau kalau sampai disuruh menjawab karena Karin benar-benar tidak mood untuk menghitung soal fisika sekarang.

"Ya, siapa yang bisa menjawab soal nomor tiga?" tanya Pak Johan. Ia meletakkan spidol birunya di atas meja guru, mengisyaratkan salah satu dari muridnya untuk maju dan menjawabnya di papan tulis. "Atau saya harus tunjuk salah satu?"

Detik kemudian, kelas langsung hening. Beberapa anak yang tadi berbisik-bisik langsung diam dan tegang. Sementara yang lain berkomat-kamit, berdoa supaya sekarang bukan hari kesialan mereka. Pak Johan yang terkenal galak itu benar-benar menyeramkan saat marah. Takutnya, kalau salah menjawab salah dikit bisa kena semprot.

"Baiklah, kalau begitu--"

"Saya, Pak."

Sontak, seisi kelas langsung mencari si sumber suara. Tanpa disangka, orang yang mengangkat tangannya adalah Leo. Sementara yang menjadi pusat perhatian hanya tersenyum tenang dan masih mengangkat tangannya.

"Apa saya boleh mengerjakannya, Pak?" tanya Leo dengan sopan.

"Tentu saja," jawab Pak Johan puas. Lalu ia kembali mengedarkan pandangannya. "Ya, siapa lagi yang mau mencoba menjawab? Ayo, yang lain! Jangan Leonardo terus!"

Dua orang anak kemudian ikut angkat tangan dengan ragu. Leo tersenyum puas sebelum akhirnya maju ke depan. Seolah ia tahu kalau orang-orang di sini tak akan mau maju jika taka da orang yang ditumbalkan untuk memulainya.

"Kamu tidak ingin maju?" bisik Alvin yang kembali menyikut Karin.

"Enggak. Untuk apa?" balas Karin dengan tak acuh. Ia tersenyum pahit. "Mereka tidak akan menyukainya. Begitu pun dengan aku."

Karin menghela nafas berat. Dilihatnya Leo yang begitu cekatan menulis jawaban yang telah ia siapkan di papan tulis. Senyuman penuh kepercayaan dirinya terus mengembang, seakan lelaki itu sangat optimis dengan jawabannya.

Yah tidak bisa Karin pungkiri kalau Leo memang pintar.

Tapi bagaimana ya kalau seisi sekolah tahu kejahatan apa yang Leo lakukan? Tanpa sadar, seulas senyuman tertahan di bibir Karin.

Terlalu berpikir mengenai Leo, tiba-tiba pandangan mereka tak sengaja bertemu. Detik itu pula Leo menyunggingkan senyuman khususnya untuk Karin. Tapi Karin tahu kalau itu sama sekali bukan senyuman ramah, melainkan senyuman yang amat mengerikan.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang