Karin menutup bibirnya ketika Leo kini tersenyum dan mencabut pisau itu dengan santainya. Cairan merah itu merembas bersamaan dengan tubuh yang ambruk di tengah kegelapan.
"Leo, apa yang kamu lakukan?!" Karin hampir saja bersuara keras jika dia tidak ingat di mana mereka sekarang. "Kamu gila ya!?"
"Hah? Gila? Apa maksudmu, Karin?" tanya Leo. Intonasi suaranya terdengar tak suka. Namun, pantulan cahaya yang remang membuat Karin tak bisa menangkap ekspresi Leo saat ini.
"Kamu mau jadi pembunuh, hah!?" hardik Karin dengan penuh penekanan. Ingin sekali ia menghajar Leo, tapi ia sadar kalau ini bukan waktunya untuk bertengkar. "Aku akan panggil ambulan. Kamu hentikan perdarahannya!"
"Tsk, kenapa malah kamu yang marah?" tanya Leo dengan sebal. Ia berjongkok dan menyingkap jas dan baju yang menutupi tubuhnya yang dipenuhi cairan merah. "Lagian aku enggak berniat membunuhnya kok. Tusukannya juga enggak dalam."
"Jangan bacot!" seru Karin yang sangat kesal. Sementara tangannya yang bergetar hebat itu sibuk memencet nomor telepon ambulan. Tak lama, nada panggilan pun terdengar. "Halo! Ambulan!? Ah, iya! Saya ...,"
Leo mendengkus ketika mendengar suara panik Karin yang tengah menghubungi ambulan untuk segera datang ke tempat mereka.
"Haah, bodoh sekali," gumam Leo. Ditutupnya luka perdarahan itu dengan sobekan kain penjahat tersebut. "Kamu seharusnya juga panggil polisi. Kamu itu korban, tau."
Karin tersentak kemudian mengangguk dan segera menghubungi polisi lewat ponselnya. Bagaimana pun juga, Leo benar. Kalau mereka tidak lapor, bisa-bisa penjahat ini sama sekali tidak kapok dan akan berulah lagi.
Tapi tetap saja, Karin sama sekali tidak mengerti apa yang tengah Leo rencanakan.
***
Malam yang begitu panjang. Setelah mengantar penjahat itu ke rumah sakit, mereka pun harus memberikan kesaksian pada polisi atas kasus yang tengah terjadi. Dengan berdalih tak sengaja tertusuk saat memberikan perlawanan, polisi itu pun akhirnya menerima pernyataan mereka.
Padahal itu bukan suatu ketidaksengajaan. Karin yakin dengan mata kepalanya sendiri kalau Leo benar-benar sengaja menusukkan pisau ke perut penjahat itu.
Tapi Karin tetap diam sampai polisi tersebut membolehkan mereka untuk pulang. Karena kalau ia bicara yang sebenarnya di kepolisian, bisa-bisa masalah akan semakin runyam dan mereka pun akan pulang semakin malam.
"Leo, kamu ... sebenarnya apa?" gumam Karin ketika Leo berinisiatif mengantarnya pulang. Ditatapnya Leo yang tengah mengambil motor ninjanya itu.
"Apa? Kamu ngomong sesuatu, Karin?" tanya Leo seraya mengenakan helm.
Karin hanya menggeleng dan menatap punggung Leo yang mulai menyalakan mesin sepeda motornya. Kemudian ia melangkah dan ikut duduk di jok belakang motor tersebut.
Motor pun melaju dengan cepat. Leo masih diam dan fokus pada jalan. Tak terlihat ingin mengungkit kejadian yang baru terjadi. Sementara Karin hanya bisa menghela nafas panjang dan menatap jalanan itu dengan pandangan kosong.
Haruskah Karin bertanya?
Tapi tubuh dan otaknya sedang benar-benar lelah. Apalagi disuguhi kejadian tak mengenakkan setelah bekerja tanpa jeda. Karin benar-benar tak habis pikir kenapa semuanya harus terjadi pada dirinya.
Padahal hidupnya sama sekali tidak menarik. Bahkan membosankan dan mononton. Penindasan di sekolah, kepura-puraan di depan ibunya, dan kerja non-stop di kafe hampir setiap malam.
Apa menariknya semua itu? Apa semesta benar-benar membencinya sampai mengutus beberapa orang untuk membunuhnya?
Karin menunduk dan tersenyum getir. Ia benar-benar tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
LACUNA [✔️]
Romansa"Tidak ada yang bisa membunuhmu, selain aku, Karin. Karena kamu milikku." "Leo, aku benar-benar membencimu!" *** Karin, cewek dingin yang selalu acuh akan sekitarnya. Sedangkan Leo, lelaki humble yang ternyata menyimpan sejuta misteri. Pertemuannya...