13. Berita Kematian

106 20 2
                                    

Karin menghela nafas panjang taktala memasuki ruang kelasnya dengan gotai. Dibukanya pintu kelas yang masih tertutup rapat, menunjukkan seisi kelas yang sunyi nan senyap. Belum ada hiruk-piruk keramaian yang mewarnai harinya hari ini.

Jelas saja karena waktu masih menunjukkan pukul 06.00. Masih terlalu pagi untuk menduduki kelas saat ini.

Seharusnya Karin senang karena belum ada orang yang mampu mengganggu ketenangannya. Tapi sebaliknya, ia merasa lelah untuk memulai hari yang begitu abu-abu ini.

Setelah mendapati syarat yang begitu aneh dari Leo semalam, entah kenapa Karin jadi semakin merasakan sesuatu yang janggal. Pasalnya, Leo begitu misterius. Sangat misterius.

Melihatnya dapat menusuk orang dengan santai dan akan kegilaan lainnya di saat-saat seperti kemarin, siapa yang tak curiga? Sebenarnya Leo itu apa?

Meski kemarin Leo bilang tidak perlu memikirkannya, tapi Karin jadi semakin tak bisa melepaskan pertanyaan-pertanyaan itu dari benaknya.

"Jangan menyerahkan nyawamu begitu aja."

Ucapan Leo kembali terngiang di telinganya. Karin tersenyum kecut dan menatap bekas luka di pergelangan tangan yang senantiasa menjadi pelampiasan rasa sakit batinnya.

Sejujurnya, Karin bisa saja mengakhiri hidupnya sekarang. Ia muak. Apalagi mendengar ucapan Leo semalam. Kalau saja tak ada lagi orang yang menunggunya, pasti Karin sudah menyayat lebih dalam.

"Yo, Karin! Tumben pagi banget!" suara bariton itu menggema dari ujung kelas bersamaan dengan masuknya Leo yang tengah tersenyum lebar.

Karin menghela nafas panjang dan menggeleng pasrah. Dari tiga puluh lima anak di kelas ini, kenapa harus Leo yang datang setelahnya? Benar-benar mengherankan.

"Ah, kamu ingat kan percakapan kita semalam?" tanya Leo dengan semangat.

Sebelah alis Karin terangkat heran. "Yang mana?"

"Yang terakhir."

"Hah?" Karin semakin heran. Sekian banyak percakapannya dengan Leo, Karin sama sekali tidak menangkap apa yang lelaki itu maksud. "Yang mana?"

"Aku mau bertemu ibumu," ucap Leo dengan gamblang.

Karin mengerjap, mencerna ucapan Leo yang jadi terdengar agak ambigu. Setelah reka ulang percakapan semalam dalam benaknya, ia baru ingat kalau Leo memang memintanya untuk bertemu dengan ibunya.

"Ah, iya," jawab Karin seraya menghela nafas berat. "Tapi tidak hari ini."

"Kenapa? Sekarang kan lebih baik."

"Bukan begitu ...."

"Ibumu juga bisa mendapat perawatan yang lebih baik. Tenang aja, aku akan menanggung semuanya kalau kamu sudah mempertemukanku dengan ibumu," sahut Leo santai. Kemudian ia memincingkan matanya dan menatap Karin jahil. "Atau jangan-jangan kamu pikir yang enggak-enggak?"

Lagi-lagi, Karin hanya bisa menghela nafas panjang. Ia tidak suka mendengar fakta bagaimana Leo yang akan menolongnya. Rasanya seperti ia memeras lelaki ini.

"Mana mungkin," sahut Karin malas.

"Apa kamu takut mengganggu pekerjaanmu?"

"Iya, itu salah satunya." Karin kembali memainkan ponselnya dan membuka aplikasi kalender. Tertera banyak tanggal yang telah ia tandai merah. "Aku enggak bisa hari ini. Lagian izinku udah terlalu banyak yang dadakan. Kalau kayak gini terus, lama-lama aku bisa kena penalti dari bos."

"Lalu kapan?" tanya Leo lagi.

Karin terdiam sejenak. "Mungkin besok atau lusa."

"Ah, baiklah. Berarti aku harus menunggu lagi ya?" ucap Leo yang terdengar agak sendu.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang