25. Dosa di Masa Lalu (1)

102 13 0
                                    

Tes! Tes! Tes!

Tetesan cairan itu jatuh, membasahi wajahnya, dan menuruni permukaan kulit itu perlahan. Perlahan, dalam kedua mata yang masih tertutup, kedua alis itu mengernyit dalam ketika merasakan wajahnya yang semakin basah.

Karin membuka kedua kelopak matanya, menyadari tetesan dari atap yang bocor sukses membangunkan kesadarannya. Lampu ruangan yang amat redup kini menyapa pandangannya yang masih buram. Langit-langit ruangan yang amat usang dan berdebu kini memenuhi penglihatannya.

Ah, di mana dia sekarang?

"Mmhh!!"

Karin terbelalak begitu menyadari selapis lakban hitam sukses membungkam bibirnya. Karin memberontak, berusaha menggerakkan bibirnya namun nihil. Lakban hitam itu benar-benar kuat dan lengket. Bibirnya jadi terasa aneh dan sangat tidak nyaman.

Ah, bahkan kini ia merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Karin melirik bagian tubuhnya. Kedua tangannya terikat di belakang. Begitu pula dengan kakinya yang kini terikat erat. Namun ia bersyukur setidaknya seragam sekolahnya masih lengkap. Bahkan dasi dan ikat pinggangnya pun masih berada di tempatnya.

Setidaknya itu menandakan kalau tidak ada orang yang menyentuh tubuhnya tanpa permisi. Jujur saja Karin takut kalau ada yang mengambil kesempatan di saat ia tak sadarkan diri tadi.

Masih dalam posisi terbaring, Karin mengedarkan pandangannya. Mengamati ruangan pengap dan redup yang tengah menyekapnya. Banyak perabotan dan kardus berserakan di sekitar sini. Namun, semuanya dipenuhi debu hingga membuat hidungnya gatal.

Karin mencoba menggerakkan tubuhnya, mencoba melepas ikatan tangannya dengan paksa. Namun hasilnya masih nihil. Ia tak bisa melepasnya karena ikatan tali itu sangat kencang dan kuat. Semakin ia memberontak, ia hanya akan memperparah rasa sakit di pergelangan tangannya.

Tapi ia tidak suka berada di posisi terbaring seperti ini. Karena tidak tahan lagi, akhirnya Karin menyeret tubuhnya sendiri dengan susah payah, berusaha menggapai dinding hanya dengan mengandalkan gesekan tubuh dengan ubin dingin itu.

Ah, jika ada orang yang melihatnya pasti saat ini ia mirip dengan cacing. Bahkan cacing dan ular pun lebih pintar melata daripadanya.

BRUK!

Karin menghempaskan punggungnya pada dinding batu bata itu kemudian berusaha untuk duduk dengan susah payah. Kemudian ia bersandar dan menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong.

Kenapa bisa berakhir seperti ini?

Sorot mata Karin berubah menjadi sendu. Hatinya perih mengingat bagaimana orang-orang memperlakukannya. Bahkan sampai menyekap dan menculiknya seperti sekarang.

Memang dosa apa yang telah ia lakukan sampai ada dendam di balik sorot mata orang-orang? Bukankah ia hanya manusia biasa? Bukankah setiap orang di dunia ini tidak ada yang sempurna?

Tapi kenapa orang-orang selalu menyalahkannya? Seolah ia hanya bisa berbuat dosa dan berbuat keburukan pada orang-orang.

Ah, dosa? Ya tiap orang memang punya dosa. Apa mungkin takaran dosanya memang sudah sangat berat sampai ia harus membayarnya dengan penculikan ini?

Karin memejamkan matanya, merasakan air mata yang mulai mengalir dari pelupuk matanya. Kekuatan dan kepercayaan dirinya seolah menguap begitu saja. Ia benar-benar merasa lemah. Atau mungkin berada di titik terendahnya.

Pikirannya beralih pada beberapa waktu lalu. Saat ia berjalan berdampingan dengan Alvin. Sebelum akhirnya beberapa orang tak dikenal menyerangnya, menyekapnya, dan menghilangkan kesadaran mereka.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang