18. Pertengkaran

108 22 0
                                    

Jam pelajaran kosong. Kelas begitu riuh meski sudah diberikan tugas oleh sang guru fisika yang tengah berhalangan hadir saat ini. Karena jarak yang cukup jauh dengan ruang guru, tak sedikit siswa yang berlalu-lalang masuk-keluar kelas dan bermain-main.

Karin memijat keningnya yang pening. Bukan karena kondisi kelas yang riuh, melainkan karena ia diapit oleh dua orang lelaki yang tengah berperang dingin.

Sejak Alvin mengatakan hal konyol di depan Leo, Karin bisa merasakan atmosfer yang begitu berat dibanding biasanya. Lelaki yang duduk di depannya ini terlihat begitu jengkel dan tidak mood seharian. Sementara lelaki yang duduk di sebelahnya justru terkekeh pelan, menertawai tingkah Leo yang seperti anak kecil.

"Aku enggak percaya kalau kamu punya stalker kayak dia, Karin," sahut Alvin seraya menggelengkan kepalanya. Suaranya terdengar agak kencang, sengaja mempermalukan Leo. "Kamu tau kan kalau stalker itu lebih menakutkan dibanding apapun. Dia bisa saja menusukmu dari belakang, Karin."

"Stalker? Wah-wah, ada yang enggak ngaca rupanya. Padahal sendirinya lebih creepy karena muncul nggak diundang, pergi ga diantar," cibir Leo yang terdengar jelas di telinga Alvin.

"Bocah ini--"

"Ya, ya, sudah cukup, Alvin." Karin memotong ucapan Alvin, mencoba merelai pertikaian tidak penting ini. Ia menghela nafas panjang dan menggeleng pasrah. "Sudahlah. Apa yang sebenarnya kalian ributkan, sih?"

Kini keduanya terdiam dan membuang muka. Lagi-lagi, Karin menghela nafas pasrah.

"Kalau kalian seperti ini terus, kalian tidak akan pernah bisa akur," sahut Karin seraya memutar bola matanya malas. "Kenapa juga aku jadi terlibat dalam permasalahan konyol ini, sih?"

"Memangnya siapa yang mau akur pada orang yang telah menakutimu, Karin?" tanya Alvin dengan nada meremehkan. "Orang itu bahkan tak pantas berteman denganmu."

Deg!

Satu kalimat pamungkas itu sontak membuat Leo mendelik penuh amarah. Sementara beberapa orang yang tengah menguping pembicaraan mereka itu langsung berbisik-bisik dengan kencang dengan senyum penuh kepalsuan.

Ah, sepertinya Karin mengerti apa yang akan terjadi.

Jika seperti ini terus, Alvin tidak akan bisa dicap anak baik oleh teman-temannya karena sudah merendahkan derajat seorang pangeran sekolah. Sebaliknya, Alvin justru berpeluang besar bernasib sama seperti dirinya yang dikucilkan dan menjadi bahan tindasan orang-orang.

Karin tidak mau memperkeruh suasana lagi. Sudah cukup dia ditindas. Ia tidak mau menarik perhatian Leo maupun Alvin dan memperunyam masalah sepele ini

"Mentang-mentang populer, kamu jadi ngerasa bisa ngelakuin semuanya, hah--?!"

Bruk!

Suara debuman itu berhasil memotong ucapan Alvin. Karin sengaja menjatuhkan buku paket yang sedari tadi dipegangnya itu dengan agak keras sekaligus untuk memperingati lelaki itu agar tidak bertindak lebih jauh lagi.

"Stop, Alvin. Sudah cukup. Kamu sudah berlebihan memperlakukan Leo seperti itu," ucap Karin dengan tegas. Sorot matanya yang tajam itu kini menghujani Alvin yang mengerjap bingung. "Kamu baru mengenalnya beberapa hari. Kamu tidak pantas untuk mengucapkan hal-hal kayak gitu. Leo sudah berbuat banyak hal padaku."

"Hah? Kenapa?" Suara Alvin terdengar berubah tidak suka. "Kamu sendiri kan yang bilang kalau kamu sering berada dalam keadaan berbahaya ketika bersama dengannya?"

"Hah?" Karin meneguk ludah, pucat. Tidak menduga kemana arah pembicaraan ini. "Apa yang kamu bicarakan, Leo!?"

"Aku kan hanya menyimpulkan berdasarkan apa yang kamu ceritakan padaku kemarin, Karin." Alvin mengendikkan bahu tak acuh dan memalingkan wajahnya. Sebuah seringaian paksa terukir di bibirnya. "Tentang sekolah ini, tentang teman-temanmu, dan tentang lelaki yang selalu sok akrab denganmu. Aku hanya memberinya peringatan. Apa salahnya?"

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang