"Sudah berapa lama kamu berteman dengannya?" tanya Leo ketika Karin baru saja duduk di bangkunya. Tatapan penuh selidik langsung menyoroti gadis dingin itu. "Dia temanmu? Atau sepupumu?"
"Apa urusanmu?" tanya Karin seraya menarik sebelas alisnya heran. Aneh sekali Leo yang notabenenya selalu memanggilnya dengan riang, sekarang justru menghujaninya dengan pertanyaan yang begitu aneh. Mendapati Leo yang tak kunjung menjawab, Karin menopang dagunya dan membalas tatapan itu dengan malas. "Memangnya kamu siapa aku, hah?"
Leo meneguk ludah dan mengulas senyuman meyakinkan. "Aku ... temanmu."
"Nah, kalau begitu tidak perlu mencampuri kehidupanku lebih dalam," ucap Karin seraya memainkan ponselnya. "Seriously, kamu terlalu mencemaskanku berlebihan. Padahal kita hanya teman. Tidak lebih dan tidak kurang."
"Lebih," sahut Leo dengan tegas. "Aku membiayai rumah sakit ibumu. Kamu tidak ingat?"
Karin mengernyitkan keningnya. Memang benar kalau Leo akan membiayai pengobatan ibunya, tapi sampai sekarang pun lelaki ini belum melakukannya. Bahkan saat mereka ke rumah sakit pun, Leo tidak mengungkit hal itu sama sekali.
Karin jadi ragu kalau Leo benar-benar akan membantunya. Sejujurnya pun, ia sudah tidak terlalu berharap akan bantuan orang ini mengingat kemarin biaya pengobatan ibu sudah berhasil terbayarkan setengah lebihnya. Itu pun dengan bantuan Alvin, bukan Leo.
Ah, kalau dipikir-pikir untuk apa Leo ikut ke rumah sakit kemarin? Karin bahkan tak bisa menebak apa yang dipikirkan lelaki itu setelah menjenguk ibu Karin selama kurang dari lima belas menit. Benar-benar singkat.
"Aku tarik ucapanku," ucap Karin pelan. Ia mengembuskan nafas kuat-kuat sebelum menatap sepasang iris Leo dengan serius. "Aku tidak butuh bantuanmu lagi, Leo."
"Hah?" Leo mengerjap tak percaya. "Maksudmu?"
"Untuk pengobatan ibuku, berhubung kamu belum mengeluarkan uang sepersen pun, aku tidak jadi meminta bantuanmu."
"Apa? Gimana bisa?" Suara Leo terdengar bergetar samar. "Memangnya kamu punya uang untuk melunasi itu semua, hah?"
"Tidak," jawab Karin dengan tenang. "Tapi aku mulai bisa mengatasinya. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Oh, begitu ...." ucap Leo seraya menghela nafas panjang dan membalas tatapan Karin dengan sedikit sendu. "Padahal aku benar-benar sudah berniat baik padamu ...."
"Mungkin suatu hari nanti jika aku benar-benar terdesak," ucap Karin seraya mengendikkan bahunya. "Tapi bukan sekarang."
"Huft, kenapa kamu begitu terus sih?" Leo memutar bola matanya dan bertopang dagu. "Padahal hanya aku yang membantumu. Tapi kenapa kamu sama sekali enggak bisa melihat semua itu, hah? Kamu ini benar-benar ...."
Ah, lagi-lagi ini, batin Karin dalam hati. Dia ini ... mencoba supaya aku terus bergantung padanya, ya?
"Atau jangan-jangan kamu berpikir aku ini jahat gitu? Pembohong?" sahut Leo yang kini tersenyum kecut. "Padahal kalau kamu tidak menarik ucapanmu, aku akan melunasi biayanya besok."
"Terus? Kamu mau bertindak manipulatif, huh?" tanya Karin dengan penuh penekanan. Ia tersenyum tipis dan menatap Leo lurus-lurus. "Kamu mau memanfaatkan kebaikanmu itu dengan mengancamku, bukan?"
"A-apa ...?" Tatapan Leo berubah menjadi kesal. "Kenapa kamu malah berpikir jahat seperti itu, Karin? Sumpah ya, kamu dipengaruhin siapa?"
"Setelah semua yang kamu lakukan untukku, bukankah sekarang kamu yang merasa paling tahu tentang aku?" tanya Karin tanpa memedulikan ucapan Leo. "Padahal kalau dilihat-lihat, nyatanya kamu tidak tahu apa-apa tentang aku. Kamu hanya sok tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
LACUNA [✔️]
Romance"Tidak ada yang bisa membunuhmu, selain aku, Karin. Karena kamu milikku." "Leo, aku benar-benar membencimu!" *** Karin, cewek dingin yang selalu acuh akan sekitarnya. Sedangkan Leo, lelaki humble yang ternyata menyimpan sejuta misteri. Pertemuannya...