20. Sisi Lain

99 17 0
                                    

Pagi itu menjadi pagi yang berbeda bagi puluhan pasang mata yang memperhatikan langkah tegap Karin. Sekilas memang tak ada yang berbeda dari biasa. Rambutnya tetap terurai sebahu dengan jepitan kecil yang menjepit poninya. Hoodie hitam yang jarang ia kenakan kini melekat di tubuhnya, menyembunyikan seragam kemeja putih dengan santai.

Bukan penampilannya yang mereka permasalahkan. Melainkan hawa keberadaannya yang begitu terasa jelas.

Tatapan tak acuhnya kini tampak lebih tajam dari biasa. Lirikannya yang begitu tajam membuat orang yang hendak menggosipinya langsung bungkam. Dagunya terangkat sedikit, membuatnya terlihat lebih arogan dan dingin dari biasa.

"Whoops, pagi yang cerah ya, Karin," sapa Leo yang tiba-tiba muncul ketika ia hendak masuk ke dalam kelas. "Wah-wah, tumben banget pake hoodie hitam. Keren banget. Beli dimana?"

Karin melirik sekilas, berpikir dalam hati untuk apa lelaki itu masih sok akrab dengannya. Melihat wajah Leo yang begitu cerah, Karin jadi teringat kejadian mengerikan yang ia saksikan kemarin. Wajah dan postur tubuh yang sama persis membuat Karin benar-benar muak akan kemuafikan lelaki ini.

"Hei, jangan diam aja. Kamu masih marah sama kemarin, ya? Aku minta maaf deh," ucap Leo dengan santai. Ia menyatukan kedua tangannya dan menyengir lebar, seolah Karin akan memaafkannya dengan mudah.

"Minta maaf?" ulang Karin. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman meremehkan. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Memangnya kamu merasa bersalah?"

"Y-ya, aku rasa ... aku benar-benar enggak enak kemarin. Aku pikir ... kita masih bisa berteman, kan?" tanya Leo seraya mengusap tengkuk kepalanya canggung. Apalagi mendapati Karin yang berwajah tidak seperti biasanya.

"Teman?" ulang Karin. Kemudian ia mengangguk dan melanjutkan ucapannya dengan penuh penekanan. "Teman sekelas, kan ya? Bukannya sejak awal semester ini kita memang teman sekelas?"

"Karin ...."

"Itu yang kamu harapkan, bukan?" tanya Karin lagi. Senyuman itu semakin lebar, namun sama sekali tak mengindikasikan kebahagiaan yang tertuang di sana. "Ya, kita memang teman sekelas, Leo. Memang apa lagi?"

"Ah ...."

Leo kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Bibirnya terbuka namun tak ada suara yang keluar dari bibir itu. Pasalnya, ucapan Karin memang tak salah. Justru itu memang kenyataannya. Tapi Leo entah kenapa sama sekali tak senang mendengar jawab Karin. Terdapat guratan kekecewaan di kedua matanya.

"Aku mau lewat sekarang. Permisi ya, kamu menghalangi jalanku, Pangeran Sekolah," ucap Karin seraya mengibaskan tangannya dan melenggang begitu saja melewati Leo.

"Tunggu, Karin--"

Pergelangan tangan itu ditarik oleh Leo, membuat langkah Karin kembali terhenti. Tak suka dipegang orang, sontak Karin menepisnya dan menatap Leo dengan kesal.

Astaga, drama apa lagi yang akan dimainkannya kali ini? Tidak bisakah dia tenang sehari saja? Pikir Karin dengan penuh kekesalan. Diliriknya beberapa pasang mata yang buru-buru memalingkan wajahnya ketika Karin melirik mereka dengan tajam.

Oh, ini rasanya seperti sinetron dalam kehidupan nyata. Begitu lika-liku dan penuh kemunafikan.

"Apa lagi, Leonardo?" Suara Karin terdengar meninggi.

"Aku benar-benar minta maaf."

"Ya, ya, ya. Kenapa minta maaf lagi? Bukannya tadi kamu udah meminta maaf?" tanya Karin seraya memutar bola matanya kesal.

"Bukan ... bukan itu, Karin," gumam Leo pelan.

"Lalu apa lagi? Atau kamu mau berdalih agar berteman denganku lagi? Aku sudah bilang kan kalau kita teman sekelas. Kenapa kamu masih meminta suatu penjelasan dariku, Leonardo?"

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang