4. Semua Sama Saja

212 35 11
                                    

Bel masuk telah berdering sebanyak tiga kali, menandakan kalau pelajaran akan kembali dimulai dalam beberapa menit. Berbagai keluhan itu mulai saling sahut-menyahut, belum puas akan istirahat dua puluh lima menit yang rasanya terbuang begitu saja.

"Aih, nasi gorengku masih sisa setengahnya," keluh Leo saat menutup kembali kotak bekalnya.

Karena waktu istirahatnya terbuang sebagian besar untuk menyalin buku catatan Karin, lelaki itu pun jadi tak sempat menghabiskan bekal yang telah ia siapkan pagi hari. Padahal perutnya masih meronta-ronta ingin makan.

Tapi karena mengorbankan jam makan siangnya, Leo pun akhirnya selesai menyalin semua catatan Karin. 

"Hei, Karin." Leo menyahut seraya menoleh ke bangku belakangnya. "Eh?"

Bangku di belakangnya itu masih kosong. Hanya menyisakan buku dan alat tulis yang masih berserakan serta ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja.

"Dia belum balik, ya?" gumamnya pelan.

Rasanya tadi saat jam istirahat, Karin masih ada di belakangnya. Tapi sejak kapan Karin keluar kelas dan belum kembali? Padahal sebentar lagi kelas akan dimulai.

Leo menarik sebelah alis, mengamati ponsel yang tergeletak begitu saja. Dia tahu kalau ada sesuatu yang aneh di sini. "Tumben banget dia enggak bawa handphone."

"Leo, Bu Sisca udah datang," bisik Cathrine yang ada di meja seberang.

Buru-buru Leo mengambil ponsel itu dan menyembunyikannya di kolong meja. Setelah itu ia berbalik menghadap mejanya sendiri dan memasang wajah biasa saat Bu Sisca melangkah ke dalam kelas dengan tatapan mengintimidasi.

Akan sangat bahaya kalau guru killer semacam Bu Sisca menemukan benda elektronik tergeletak bebas di atas meja. Apalagi barang ini punya Karin dan orangnya sedang tidak ada di sini.

Bu Sisca--sang guru fisika di kelas unggulan itu--segera mengeluarkan spidol dari dalam tasnya dan langsung menghadap ke papan tulis, sebelum akhirnya mengeluarkan ultimatum, "Keluarkan kertas selembar. Saya ingin mengukur kemampuan kalian sebelum kita memulai kelas hari ini."

Diiringi dengan keluhan yang tertahan, siswa di dalam kelas unggulan itu pun akhirnya mengeluarkan selembar kertas dengan terpaksa. Tak terkecuali Leo yang hanya bisa menghela nafas berat dan mulai menulis soal yang ada di papan tulis.

"Leonardo, siapa yang duduk di belakangmu itu?" tanya Bu Sisca setelah beberapa saat menyadari kalau bangku itu masih kosong.

Leo meneguk ludah. "Karina Margaretta ... sedang sakit di UKS, Bu."

"Sejak kapan?"

"Istirahat kedua, Bu ...."

"Oh, baiklah." Bu Sisca kembali mengedarkan pandangannya dengan tajam ketika mendengar bisikan-bisikan dari dua deretan bangku paling belakang. "Yang berisik atau menyontek, akan saya beri nilai nol!"

Sejak ancaman itu, kelas kembali hening. Sedangkan Leo akhirnya bisa menghela nafas lega dalam hati. Sebenarnya lelaki itu tahu kalau bisikan-bisikan tadi bukan karena menyontek. Jelas sekali kalau mereka tengah menggosipi Karin yang bolos pada pelajaran fisika hari ini.

Sesekali Leo melirik ke belakang, berharap kalau Karin akan kembali ke dalam kelas meski ujian telah usai.

Tapi nyatanya, gadis itu tidak pernah kembali sampai pelajaran paling akhir usai.

***

"Apa ... mati sekarang saja, ya?"

Di saat yang bersamaan, Karin masih terkulai lemah di dalam bilik toilet wanita. Entah sudah berapa banyak tetes darah yang merembes dari permukaan kulitnya hanya untuk melampiaskan rasa sakit batin yang tak kunjung pulih.

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang