19. Berubah

100 18 0
                                    

Karin tak pernah segelisah ini sebelumnya. Kakinya sangat lemas, bahkan ia tak yakin bisa berdiri setelah ia jatuh berlutut seperti itu. Tubuhnya tak bisa berhenti gemetar ketika bersembunyi di balik dinding itu bersama Alvin.

"Kita ... tidak boleh sampai ketahuan, Karin." Alvin melirik kondisi Karin yang benar-benar pucat. Ia berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Karin. "Kamu ...."

Karin menggeleng pelan dan membungkam bibir Alvin dengan telapak tangannya, mencegah Alvin untuk melanjutkan ucapannya. Ia menggigit bibir dan kembali bersandar di tembok.

"Haaah, kenapa jadi seperti ini sih? Aku kan sama sekali tidak ingin membunuhmu." Suara gumaman Leo kembali terdengar jelas di telinganya. Lelaki itu ternyata belum beranjak dari tempatnya. "Yah, karena sudah terlanjur, baiklah. Lagipula, kamu memang pantas mendapatkannya. Jadi sampai jumpa di akhirat, Paman Bodoh."

Karin terbelalak lebar. Tubuhnya semakin bergetar hebat ketika mendengar kekehan Leo yang menggema di lorong itu. Apa-apaan suara Leo yang terdengar begitu santai? Seolah-olah membunuh seseorang bukan suatu hal yang besar baginya.

Ini gila. Leo benar-benar tidak waras.

"Halo? Ya, ini aku." Suara Leo kini terdengar seperti sedang menelepon seseorang. "Ya, lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Maaf ya. Ah, iya aku butuh tumbal lagi buat menutupinya. Bisakah?"

Karin sudah tidak bisa berpikir jernih sama sekali. Apa yang didengar dan dilihatnya saat ini begitu nyata dan menakutkan. Tidak pernah sekalipun ia berpikir akan terlibat dalam suatu kriminalitas seperti ini.

Seketika itu juga beberapa memori yang mengingatkannya pada Leo berputar dalam benaknya bagai kaset rusak. Sapaannya, senyumannya, kegilaannya, dan ketidakwarasannya.

"Kamu tidak menganggapku teman, hah?"

Karin tersenyum kecut ketika mengingat ucapan Leo. Teman? Teman apanya? Teman untuk dijadikan korban pembunuhan? Ternyata semua sama saja. Benar-benar busuk, pikir Karin dengan penuh kebencian.

Tanpa aba-aba, Alvin segera berdiri dan menarik pergelangan tangan Karin.

"Ayo, pergi," ucap Alvin dengan cepat. Tapi Karin hanya menatapnya pucat dan kemudian menunduk seraya menggigit kedua bibirnya. "Ah? Kamu enggak bisa berdiri?"

"Iya, aku ...." Karin meringis, tak dapat melanjutkan ucapannya. Meskipun ia benar-benar benci dengan Leo, tapi ketakutan itu masih saja menyelimuti hatinya. Bahkan kakinya masih bergetar hebat saking takutnya.

"Baiklah. Permisi ya." Alvin membungkukkan badannya dan dalam sekali gerakan dia langsung membopong Karin layaknya seorang tuan putri.

"Eeh!?" Karin mengerjap tak percaya sekaligus malu. "Apa-apaan-!?"

Alvin langsung berjalan dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sementara Karin masih menunduk malu dan bertanya-tanya kenapa dia melakukan itu.

"Diam. Atau Leo langsung menemukanmu, Karin," bisik Alvin dengan tegas.

Karin menggigit bibir bawahnya, mengurungkan niatnya untuk protes dan hanya mengangguk pelan. Kemudian ia melirik ke belakang, berharap bahwa Leo tidak mengikuti mereka sampai sejauh ini.

***

"Nih, minum."

Karin yang tengah duduk sambil termenung itu kini mendongak ketika menyadari sekaleng minuman soda diulurkan padanya. Alvin, lelaki yang sedari tadi menggendongnya hingga sejauh ini masih tetap bersikap santai. Ia bahkan duduk di sampingnya dan meneguk minumannya dengan pelan.

"Terima kasih, Alvin," gumam Karin pelan. Dibukanya kaleng soda itu perlahan sebelum menatapnya kosong. "Kupikir ... masih tidak ada yang baik denganku. Ternyata memang ... semuanya sama saja."

LACUNA [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang