_23

914 160 0
                                    

Anna terbelalak "hei! Kenapa ikut naik! Kau bisa menunggang kuda lain!" Ujarnya tak terima jika harus berdekatang dengan arthur. Bahkan punggungnya sudah menyentuh dada arthur.

"Ini kuda ku, aku bebas mau menungganginya atau tidak"

Anna memutar bola matanya malas "Kalau begitu aku yang akan naik kuda lain"

"Tidak bisa, mereka belum diberi makan. Jadi akan kelelahan jika ditunggangi" sangkal arthur berbohong.

Mulut gadis itu kembali mengeluarkan decakan dan lebih keras "kalau begitu cepatlah! Aku tidak tahan dalam posisi seperti ini"

"Kenapa?" tanya arthur, lebih merapatkan tubuhnya pada anna. Bahkan kedua tangannya maju kedepan meraih tali yang digunakan untuk mengendalikan kudanya.

Tentu saja anna tak diam dan membiarkan arthur tersenyum penuh kemenangan. Anna menepis kedua tangan yang mengapit tubuhnya, mengambil tali dari tangan arthur "kau pegangan belakang saja,aku yang akan mengendalikan kuda ini. Kau tinggal bilang arahnya" ujar anna, meskipun dia tidak tau cara mengendarai kuda.

"Kau bisa?"

"Bisa"

Gadis itu mengepakkan tali dengan keras, hingga kudanya berlari kencang. Arthur yang paham bahwa sebenarnya gadis tersebut tak bisa mengendarai kuda dengan baik, langsung menyahut tali deri kedua tangan anna.

Anna sendiri membiarkannya tak berniat kembali mengambil tali dari tangan arthur, karena jika ia yang mengendarai, bisa-bisa akan membuat celaka keduanya.

---

Setelah sampai ditempat tujuannya, arthur mengikatkan kudanya di batang pohon pinus yang rimbun.

Dibawahnya juga banyak rumput-rumput liar, bermaksud memberi makan kuda kesayangannya.

"Ayo" arthur membawa anna menuruni kawasan hutan yang menyimpan lebih banyak aneka tanaman tinggi menjulang.

Semakin masuk, semakin gelap. Anna menggesek lengannya sendiri, suasananya sepi dan merinding.

Disampingnya, arthur terkekeh kecil melihat ekspresi sang calon permaisuri, terlihat seperti anak kecil, terlebih gadis itu memaksa tidak mau memakai pakaian yang telah disiapkan para pelayan, dan malah memilih memakai baju milik arthur yang kebesaran dipakai ditubuhnya.

"Kita sudah sampai" ujar arthur yang membuat anna memiringkan kepala, disekitarnya hanya ada semak belukar yang memiliki tinggi melebihi dirinya.

Mengerti raut aneh si gadis, arthur menebas semak-semak tinggi tersebut menggunakan padang yang terselip pada pinggangnya.

Setelah semaknya ditebas, barulah anna membulatkan mata.

Didepan matanya terdepat hamparan bunga tulip beraneka warna yang seolah tidak ada ujungnya. Anna menangkup kedua pipinya, dia benar-benar menyukai pemandangan seperti ini.

Padahal dulu, gadis itu sering sekali menggerutu kala melihat bunga atau apapun yang berkaitan dengan bunga.

Bukan tanpa alasan, anna membenci bunga karena teman-teman perempuannya selalu mendapat bunga dari pasangan mereka masing-masing, sedangkan dia tidak pernah, anna hanya selalu mendapat ejekan karena tidak pernah bisa akur dengan para lelaki, rasanya ingin saja mencari masalah dengan mereka.

"Kau suka?" Lelaki itu bertanya membuat anna mengalihkan pandangan padanya, tatapan mata mereka bertemu beberapa saat, sampai anna memutusnya terlebih dulu.

Pipinya tiba-tiba memanas.

"Kenapa hanya diam disini, ayo kesana!" Sentak arthur, sedangkan anna masih dalam kebingungannya kenapa jantungnya dirasa seperti akan meledak.

Arthur memegangi pergelangan tangan gadis disampingnya, kemudian merambat hingga jarinya masuk ke sela-sela jari anna. Merapatkan telapaknya ke telapak anna sambil membawa gadis itu lebih dekat dengan hamparan bunga tulip.

"Kenapa kau seperti hilang ingatan? Kita sudah berkali-kali kemari"

Anna hanya berdecak, arthur benar-benar keras kepala, sudah berkali-kali dirinya mengatakan jika dia bukanlah alana. Tali lelaki itu tetap tidak percaya.

Anna yang sedang duduk tenang sambil menyunggingkan senyuman, matanya pun bahkan tak berkedip barang sebentar, ia tersentak ketika arthur memasangkan salah satu bunga yang masih kuncup ke apit telinga anna, warnanya putih bersih.

"Aku tidak pernah tau warna apa yang kau suka, jadi aku pilih bunga tulip yang berwarna putih untukmu"ujarnya, lelaki itu duduk didepan anna hingga menutupi pemandangan hamparan tulip, dan malah tergantikan oleh pemandangan tak kalah sempurna, wajah arthur.

"Kau tau, kenapa aku pilihkan bunga warna putih?" Anna tidak menjawab, hanya diam memandangi dengan lekat wajah kelaki didepannya.

Arthur terkekeh kecil "warna putih itu kontras dengan kulitmu, jadi kalau pipimu sedang memerah jadi akan terlihat lebih jelas"

Buru-buru anna mengusapi pipinya, bahkan dia sendiri tidak sadar kalau pipinya semakin merah dan jantungnya semakin berdegup kencang. Rasanya ingin menceburkan lelaki itu ke palung untuk menghilangkan malunya.

"Jangan tersipu, aku tidak sedang menggodamu" ujar arthur terdengar mengejek, karena lelaki itu berkata seraya tertawa.

"Aku tidak tersipu! Sinar mataharinya saja yang terlalu panas, makanya pipiku memerah"

"Oh ya? Benarkah?"

Anna mengangguk cepat "dengar ya, pangeran arthur. Aku sama sekali tidak tertarik dengamu..." bohong, bahkan anna berkata sambil menahan senyumannya.

Arthur tak menggubris, kedua tangannya tiba-tiba terbuka lebar kemudian memeluk tubuh kecil anna "apapun yang kau katakan, itu pasti tidak sesuai dengan hatimu"

Anna mendorong-dorong arthur, hingga pelukaannya terlepas. Jika terus seperti ini, anna bisa-bisa benar-benar jatuh pada pesona arthur. Bagaimanapun, anna tidak boleh sampai menyukainya, tempatnya bukan disini. Suatu saat anna akan kembali, dan bisa saja meninggalkan arthur.

"Kenapa alana?"

Anna menggeleng, menggeser posisi duduknya agak jauh dari arthur. Mengingat bagaimana jika dirinya tidak bisa kembali ke masa depan, kini anna sangat merindukan ayah dan ibunya, dia sadar jika dirinya bukan anak yang baik.

Dan sadar jika keberadaanya disini adalah hukuman atas kesalahan yang pernah ia lakukan pada ayah maupun ibunya.

"Aku rindu orang tuaku" celetuk anna membuat dahi arthur mengernyit.

Arthur yang tadinya duduk lebih jauh, kembali mendekat, menempelkan lengan keduannya, lantas meletakkan kepala di atas bahu anna.

Anna tentu saja terkejut, tapi ia diam saja. Rasanya cukup menenankan, padahal dirinya yang sedang bersedih.

To be continued...

Meet The Prince [] HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang