"Olivia..."
Nathan menatap penuh penyesalan sosok perempuan yang tertunduk dalam dan terus terisak dalam posisi duduk di bibir ranjang.
"Aku minta maaf."
Olivia menggeleng. "Ini kesalahanku. Seharusnya aku tidak jahat terhadapnya."
Nathan menghela nafasnya dalam. Ia menggenggam kedua telapak tangan dingin itu. "Ini bukan salahmu. Lagi pula bukankah penyihir Zack juga menghilang? Aku yakin dia pasti menjaga Arabella."
Olivia mendongak. "Aku menuduhnya, merebut haknya, dan sekarang seseorang ingin membunuhnya di luar sana."
Nathan menghela nafas. "Jika bukan karena ayahku--"
"Kau tak akan menikahi aku. Iya, 'kan?"
Nathan terkejut. "Olivia. Apa yang kau katakan? Aku mencintaimu. Aku tidak menyesal. Sama sekali tidak."
Olivia tidak menjawab apapun. Ia hanya tertunduk lesu.
Nathan menghela nafasnya. "Kumohon jangan ucapkan itu lagi. Penyihir itu yang harusnya disalahkan. Dia yang membunuh ayahmu menggunakan Putri Arabella juga membunuh putri kita."
Olivia semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat. "Untuk apa? Dia melakukan itu bahkan tanpa berusaha merebut takhta kekaisaran ini."
Nathan menghela nafasnya. Ia bangkit untuk memeluk tubuh bergetar Olivia berusaha menenangkannya.
"Seharusnya ayahku mengatakan hal ini sejak lama. Penyihir itu adalah teman dekat ayahku. Jika sudah seperti ini, semua akan lebih sulit. Maafkan aku, Olivia. Tapi aku akan berusaha melakukan yang terbaik."
Olivia melepas pelukan Nathan. "Tapi ini tetap salahku. Bagaimana jika dulu dia pergi karena tahu aku mencarinya? Aku menyesal. Jika dia tetap berada di sini pasti..." Olivia tak lagi melanjutkan.
Nathan mengerti. Sangat mengerti. Ia kembali meraih tubuh perempuan yang sangat dicintainya itu kembali dalam pelukannya.
Olivia membalas pelukan Nathan "Aku ingin dia kembali. Tapi aku takut kau--"
"Tidak, Olivia, tidak." Nathan mengelus lembut surai cokelat istrinya. "Aku memang menyukainya. Tapi dulu. Aku mencintaimu sekarang. Walau dia tidak pernah menghilang pun aku berani menjamin hanya akan mencintaimu selamanya."
"Terimakasih." Olivia memeluk erat tubuh suaminya.
Nathan mengurai pelukannya. Ia berusaha memberikan senyum yang terbaik untuk menenangkan Olivia. Tangannya bergerak mengelus perut rata istrinya itu.
"Sekarang tenangkan dirimu. Pikirkan anak kita di dalam sini. Biarkan aku yang mengurus semua."***
Rad membuka matanya. Sejenak irisnya berwarna kuning menyala sebelum kembali pada iris hijau tua miliknya.
Bibirnya tersenyum miring. Perubahan besar dapat ia rasakan setelah tepat sepuluh tahun melakukan ritualnya. Kekuatannya seolah bertambah berkali lipat.
Membunuh sahabat bodohnya, Aldrick, walau tidak mudah ternyata sangat menguntungkan.
Kematiannya yang disebabkan oleh pertentangan antara sihir terhadap darah dagingnya sendiri membawa keuntungan besar bagi Rad setelah berhasil menelan beberapa tetes darah kaisar itu sepuluh tahun lalu.
Rad bangkit berdiri. Ia melangkah menyibak tirai yang menutupi tempatnya melakukan ritual terlarang.
"Tuan." Seorang penyihir menghampirinya dengan membungkuk seraya menyodorkan segelas cairan berwarna merah pekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic Destiny [Completed]
Fantasy[Fantasy-Romance] Arabella, putri terkutuk yang disembunyikan rapat-rapat keberadaannya oleh penghuni istana. Hanya nama yang dikenal oleh seluruh rakyat Kekaisaran Orvins. Kutukan Arabella membuatnya harus menanggung kesakitan luar biasa dan menjer...