Unintentional

12.5K 1.7K 19
                                    

Arabella mengerjap perlahan. Tenggorokannya terasa kering sekali, membuatnya terbangun di tengah malam.

Baru saja ingin beranjak turun, Arabella hampir terpekik lantaran terkejut mendapati Zack yang terbaring tidur di sebelahnya.

Arabella melongo heran. Bukankah tadi ia sudah meminta untuk tidur di kamar sendiri? Kenapa sekarang ada Zack yang tidur di sebelahnya?

Arabella mengedarkan pandangannya, barulah ia menyadari tengah berada di kamar Zack dan bukannya berada di kamar yang disediakan untuknya.

Omong-omong soal kamar, kamar yang ditempati Zack ini luar biasa mewah. Jauh lebih mewah dari kamarnya di Kekaisaran Orvins dulu.

Arabella berdecak. Ia kemudian menatap wajah Zack yang tertidur dengan lelap di sebelahnya. Tanpa sadar, Arabella mengulas senyum. Tangannya terangkat menyentuh surai hitam legam itu.

Sedikit kesal namun Arabella juga senang, Zack sebegitu tidak ingin berpisah dengannya hingga Arabella yang sudah tidur di kamarnya berpindah tempat menjadi di kamar Zack ini. Bolehkah Arabella berfikir seperti itu?

Setidaknya untuk sekarang Arabella tidak punya alasan untuk berfikir Zack akan meninggalkannya, 'kan?

Tap.

Arabella mematung saat Zack tiba-tiba saja membuka matanya. Tangan penyihir itu dalam satu kedipan sudah menangkap pergelangan tangan Arabella yang menyentuh kepalanya.

"Kenapa?"

"Ha? Ap-apa? Ke... napa apa?" Arabella tergagap. Tangannya ingin ia tarik kembali andai saja Zack tidak menahannya.

"Aku tahu aku ini tampan. Tapi memang iya kau bangun di tengah malam seperti ini hanya untuk mengagumi ketampananku?"

Arabella menatap Zack datar. "Kenapa aku ada di sini?"

Zack tersenyum miring. "Kau tidak senang? Mana mungkin tidak. Cita-citamu, 'kan, agar bisa dicintai dan dipedulikan. Aku mewujudkan itu untukmu."

Beruntung sekarang malam hari. Beruntung pencahayaan di dalam kamar Zack sangat minim. Arabella berharap semoga dengan itu Zack tidak bisa menyadari pipinya yang sudah memanas.

Bruk.

"Tidur," titah Zack. Ia menyentak tangan Arabella membuat tubuh perempuan itu jatuh tertidur kembali. Zack memposisikan Arabella dalam pelukannya. Ia kembali menutup mata, mencoba tidur.

"Aku haus, Zack. Aku bangun karena aku ingin minum," ucap Arabella tanpa berniat melepas pelukan Zack.

"Oh." Zack melepas pelukannya. Ia menunduk menatap Arabella. "Mau kuantar? Berteleportasi agar tidak perlu jalan jauh."

"Tidak perlu." Arabella menggeleng. "Sudah lama aku tidak berjalan."

Zack berdecak. "Jangan macam-macam, A. Ini sudah malam."

"Aku hanya akan pergi ke dapur lalu kembali. Itu saja. Jangan berlebihan, Zack," tukas Arabella santai.

"Perlu panggil pelayan?"

"Tidak," sergah Arabella langsung. "Katakan saja padaku di mana letak dapurnya."

***

Tak!

Arabella meletakkan cangkir yang sudah kosong di atas meja dapur. Penerangan sama sekali tidak ia nyalakan, karena toh Arabella tidak akan lama di sana. Ia hanya akan minum, lalu kembali ke kamar.

Arabella mengisi sekali lagi cangkir keramik dalam genggamannya dengan air sampai setengah. Setelah meneguk hingga habis, Arabella berjalan untuk meletakkan cangkir itu di dekat pintu masuk dapur.

Pathetic Destiny  [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang