"Ayaaaah!"
Allura mengerang. Tubuhnya jatuh menghantam lantai. Baru saja tiba di istana ayahnya, ia merasakan sakit yang menyerang seluruh tubuhnya.
Edmunt yang mendengar jeritan anaknya mendatangi sumber suara dengan tergesa. Sorot mata panik terpancar jelas dari kedua manik hitam kelamnya.
"Allura!" Edmunt segera menopang tubuh Allura. Dengan perasaan yang luar biasa ketakutan, Edmunt membawa Allura ke kamarnya, membaringkannya dengan hati-hati putrinya itu yang terus mengerang kesakitan.
Edmunt memegang erat kedua telapak tangan Allura. Menyerap seluruh rasa sakit di tubuh putrinya itu agar berpindah ke tubuhnya.
"Ayah, jangan..." Allura yang tersadar akan apa yang dilakukan ayahnya berseru panik.
Namun ia tidak bisa mencegahnya. Edmunt menyerap seluruh rasa sakit itu. Tidak ingin anak perempuannya menjerit kesakitan di depannya. Sedangkan ia sendiri, berusaha sekuat tenaga menahan untuk tidak mengerang menahan sakit.
Edmunt memasang wajah baik-baik saja. Ia bahkan tersenyum menenangkan saat Allura tanpak ingin menangis.
"Ayah, jangan seperti itu!" Allura bangkit untuk duduk. Mengguncang tubuh Edmunt saat sudah tidak ia rasakan lagi rasa sakit di tubuhnya.
Namun tubuh Allura seketika melemas, tidak bertenaga. Edmunt yang sadar menuntun anaknya untuk berbaring kembali.
Allura mulai menangis.
"Ayah, kumohon..."Edmunt menggeleng.
"Tidak apa-apa, Allura. Ini tidak sakit.""Bohong!"
Raung Allura.
"Ayah bohong!"Edmunt menghela nafasnya dalam.
"Tunggu sebentar. Ayah akan mengambilkanmu minuman hangat."Edmunt bangkit berdiri. Ia melangkah keluar dari dalam kamar. Saat tiba di luar, Edmunt langsung jatuh terduduk. Tangannya memegang dada kirinya yang sakit luar biasa.
Namun tak ingin menyerah, Edmunt berjalan menuju dapur istana. Ia tak lagi bisa berleportasi dalam keadaan seperti ini.
Apa yang ia lakukan, tidak membuat Allura terbebas dari hukumannya. Edmunt hanya menanggung kesakitan yang Allura rasakan. Rasa sakit itu akan hilang saat Allura seharusnya sudah tidak lagi merasa sakit jikalau Edmunt tidak memindahkan rasa sakitnya.
"Yang Mulia!" Seorang pelayan memekik saat Edmunt tiba di dapur dengan wajah begitu pucat.
"Yang Mulia baik-baik saja?"
Edmunt mengangguk.
"Buatkan aku secangkir teh."***
"Ayah, ini apa?" Allura bertanya dengan mata menyelidik saat ayahnya menyodorkan secangkir penuh ramuan teh hangat.
"Ini hanya teh biasa. Tenangkan pikiranmu."
Allura tidak percaya, namun melihat mata ayahnya yang tidak berbohong sama sekali, mau tak mau Allura menyesap teh pemberian ayahnya.
"Aku rasa waktuku sudah hampir tiba," tukas Allura pelan. Semakin lama tubuhnya terasa semakin lemah.
Edmunt memandang anaknya sedih. Lagi, air mata mengaliri wajah Allura. Wanita itu tampak sama sekali belum siap untuk mati. Walau mulutnya berkata lain, Edmunt tetap tahu.
"Ayah, peluk aku," pinta Allura.
Edmunt segera meraih tubuh itu dalam pelukannya. Membelai dengan penuh kasih sayang surai putih Allura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic Destiny [Completed]
Fantasi[Fantasy-Romance] Arabella, putri terkutuk yang disembunyikan rapat-rapat keberadaannya oleh penghuni istana. Hanya nama yang dikenal oleh seluruh rakyat Kekaisaran Orvins. Kutukan Arabella membuatnya harus menanggung kesakitan luar biasa dan menjer...