Orvins

12.7K 1.7K 30
                                    

Lihat.

Zack mendengus sendiri melihat Arabella yang diam dengan pipi memerah setelah menciumnya tadi.

Ternyata benar. Arabella tetaplah Arabella. Dia bahkan tidak sadar apa yang ia lakukan hingga seberani itu mencium pipi Zack.

"Kau sedang apa di situ?" heran Zack melihat Arabella yang tak bergerak berdiri di sebelahnya.

"A-aku," Arabella tergagap. Ia pun kembali ke kursinya untuk duduk.

"Maaf," cicit Arabella. Perempuan itu duduk kaku.

Zack menghela nafasnya. Ia pikir karena Arabella yang melakukannya, Zack tidak perlu ambil pusing dengan kecanggungan yang terjadi. Tapi ini bahkan Arabella yang paling canggung.

Dan lagi, untuk apa Arabella meminta maaf? Zack tidak menganggap itu sebagai sebuah kesalahan. Apa Arabella berfikir begitu?

Dasar. Memang sepertinya yang ingin Zack nikahi ini adalah seorang gadis delapan belas tahun.

Zack juga, 'kan, yang harus pusing memikirkan cara untuk menghilangkan suasana canggung ini.

"Tidak."

Arabella mendongak saat suara Zack terdengar memecah keheningan.

"Aku malah senang," Zack tersenyum.

Pipi Arabella berdesir. Tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Otaknya sedang berfikir keras, bagaimana cara menepis kecanggungan ini.

Tapi sial. Otaknya memang selalu buntu soal hal semacam ini.  Bayangkan saja, di saat gadis lain membaca banyak sekali novel romantis, Arabella malah membaca novel aksi dan novel filsafat.

"Soal aku yang tidak pulang seminggu ini..." Akhirnya Zack lagi yang harus terpaksa mencairkan suasana.

Arabella menatap iris hitam Zack, merasa mulai tertarik pada topik yang dibicarakan.

"...itu tidak seperti yang kau pikirkan," jelas Zack.

Arabella masih diam. Benar-benar otak tumpulnya sulit sekali diajak kerja sama di saat seperti ini.

Zack mendesah saat Arabella malah diam saja. Ingin mengumpat tapi tidak mungkin mengumpati tunangannya, calon istrinya yang paling ia cintai itu.

Serba salah.

"Aku pergi selama satu minggu itu karena aku sendiri yang membuat cincinnya," jelas Zack dengan wajah yang dibuat sebaik mungkin.

Dan setampan mungkin.

"Oke." Sepertinya kejadian tadi membuat tingkat ketumpulan otak Arabella untuk saat ini berada di stadium memprihatinkan.

Karena itu kapasitas otaknya tidak cukup untuk menyadari bahwa kalimat Zack barusan adalah kalimat yang begitu manis.

Dan baru menyadari setelah hampir dua menit terdiam. "Benarkah?" Arabella mendongak.

Zack meringis prihatin. Sepuluh tahun tidak belajar memang bisa berdampak seperti itu? Sepertinya tidak.

"Aku membuatnya sendiri. Membuatnya sendiri dengan instruksi dari kakekku. Karena itu aku tidak bisa pulang," jelas Zack lagi.

Arabella tidak bisa menahan senyumannya. "Terima kasih."
Ia melirik cincin di jari manisnya dan merona.

Zack balas tersenyum. "Itu terbuat dari sihirku. Dan aku membuatnya menggunakan energi kehidupanku."

"Apa?!" Arabella melotot. "Lalu kau bagaimana-"

"Karena sebentar lagi kita menikah, aku tidak apa-apa asal itu kau yang memakai," jelas Zack.

Arabella terdiam. Wajahnya selalu memanas jika Zack membahas soal menikah. Arabella, 'kan, masih remaja. Eh?! Lupa.

Pathetic Destiny  [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang