22

274 26 2
                                    

Hai sayang.

Baca part ini diusahakan online ya sayang, soalnya ada sedikit foto-fotonya.

Biar kita baper bareng. Semoga. Muehehe.

Eh tapi gue seneng deh, ternyata masih ada yg mau baca ff ini huaa nangis.

Yaudah, selamat baca sayang.

***

"(nam), nanti malem om Adira ngundang keluarga gua buat makan malem di rumahnya. Lo ikut ya." Iqbaal meletakkan ponselnya yang sedari tadi ia mainkan.

Saat ini (namakamu) dan Iqbaal sedang duduk bersantai di depan TV.

(namakamu) yang mendengar nama ayahnya disebut langsung menoleh kepada Iqbaal dengan cepat. Sedikit terkejut dengan apa yang Iqbaal sampaikan barusan.

"Ayah?" tanya (namakamu) meyakinkan. Takut-takut pendengarannya mulai bermasalah.

"iya, om Adira mana lagi emang?" ucap Iqbaal sembari terkekeh pelan.

"gua, gak yakin baal." ucap (namakamu) ragu.

"gak yakin kenapa?" Iqbaal menghadapkan badannya dengan sempurna ke arah (namakamu).

(namakamu) hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Iqbaal barusan. Iqbaal yang tidak mendapat balasan langsung menggeser badannya lebih mendekat kepada (namakamu).

"(nam), dengerin gua ya. Kalo lo sampe saat ini masih gak mau mencoba untuk memaafkan, mau sampe kapan lo musuhan sama keluarga lo sendiri?" Iqbaal menatap mata (namakamu) dengan wajah seriusnya.

(namakamu) tidak bisa ditatap seperti itu. Apa lagi ini seorang Iqbaal CJR yang menatapnya. Jantungnya terasa seperti habis melakukan lari marathon.

(namakamu) hanya mengalihkan wajahnya, berusaha untuk tidak menatap wajah indah di sampingnya ini.

"lo tau, gak ada keluarga yang jahat. Gak ada orang tua yang sengaja melukai anaknya sendiri. Mungkin saat itu om Adira lagi bener-bener terpukul dengan kepergian kakak lo."
Iqbaal sudah tau masalah (namakamu). Semua itu diceritakan oleh ayahnya.

"gua mohon, kalo pun lo saat ini emang belum bisa maafin mereka, setidaknya lo udah mau mencoba. Kita gak akan pernah tau apa yang akan terjadi kalo kita gak pernah coba."

"keluarga itu tempat kita pulang, tempat kita mengadu segala masalah yang kita alami di dunia luar. Kalo sama keluarga aja kita gak damai, mau sama siapa kita bersandar? Mau sama siapa kita berkeluh kesah?" Iqbaal meraih tangan (namakamu) kemudian mengelus punggung tangannya pelan.

(namakamu) sudah terisak sekarang. Iqbaal ingin sekali menarik (namakamu) ke dalam dekapannya, tapi ia ragu.

Iqbaal terus mengelus punggung tangan (namakamu). Menyalurkan ketenangan. Seakan-akan, melalui genggaman dan elusan tersebut Iqbaal menyampaikan bahwa semua akan baik-baik aja, ia selalu siap jika (namakamu) membutuhkan dirinya.

Iqbaal sadar, ia bertemu dan kenal (namakamu) belum lama. Tapi entah kenapa, Iqbaal merasa ia harus menjaga dan menyayangi (namakamu).

Entah sayang dalam arti saudara atau lebih, Iqbaal juga tidak tau. Ia tidak mau memikirkan hal itu untuk saat ini. Yang terpenting, (namakamu) bisa lepas dari masalahnya dan ia bisa melihat (namakamu) tersenyum bahagia. Itu sudah lebih dari cukup menurutnya.

"gua..gua, boleh pel--" belum (namakamu) menyelesaikan kalimatnya, Iqbaal sudah menarik (namakamu) ke dalam pelukannya.

Iqbaal mengelus punggung (namakamu) dengan lembut. Membiarkan (namakamu) menangis dalam pelukannya.

Wound X IDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang