Pagi hari dengan awan gelap yang menghiasi langit, seperti biasa, aku berangkat menuju ke sekolah diantar oleh sopir pribadiku.
Orang tuaku sibuk bekerja, pergi subuh, pulang larut malam, bahkan sering keluar masuk negeri. Jarang sekali aku bisa bertemu dengan mereka.
Tapi aku tak begitu peduli, sudah biasa bagiku hidup sendiri. Toh, semua kebutuhan ku dapat terpenuhi. Apapun yang kubutuhkan.
Suasana sekolah masih sepi saat aku tiba. Awan mendung masih setia memenuhi langit. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Kakiku melangkah pelan melawati koridor menuju kelas. Suasana sepi, hawa dingin, aku menyukainya. Apalagi ditambah suara ketukan sepatuku yang menyentuh lantai, menambah kesan misterius yang muncul.
Untuk mengisi waktu luangku menunggu kelas yang sebenarnya masih lama dimulai, aku memutuskan membaca novel fantasiku.
Novel fantasi yang berkisah tentang vampir. Ya, aku memang penyuka cerita fantasi, dan semua hal yang berbau misteri.
Tapi tunggu, misteri yang kumaksud disini adalah misteri tentang teka-teki, bukan hal mistis. Karena aku tidak suka horor.
Cukup lama larut dalam cerita, satu-persatu teman kelasku mulai berdatangan, termasuk dia.
Sahabat satu-satunya yang kumiliki. Dia adalah orang yang paling aneh yang pernah kutemui.
Di saat semua orang membenciku, di saat semua orang mengabaikanku, di saat semua orang menjauh dariku. Dia adalah satu-satunya orang yang selalu tertawa kencang saat bersamaku, selalu memaksaku ikut dengannya, memaksa untuk selalu mendekatiku.
Aurora Snealie, gadis menyebalkan yang membuatku dengan tidak sengaja mulai menganggapnya sebagai seorang 'sahabat'.
"Pagi Ellysha!" sapanya dengan suara riang. Aku hanya bergumam menanggapi sapaannya.
Seperti biasa, dia menarik buku yang sedang kubaca, secara paksa. Ingat, SECARA PAKSA!
"Kembalikan bukuku, menyebalkan!" Aku menatapnya malas. Ara--nama panggilanku untuknya--menoleh padaku setelah melihat judul yang tertera di buku itu.
"Tentang sihir?" tanya Ara seraya memberikan buku itu. Aku menggeleng. "Vampir," tuturku pelan. Ara hanya ber 'oh' ria.
"Oh ya, nanti temani aku keluar, yah?" pinta Ara dengan wajah sok imutnya.
"Aku sibuk," jawabku ketus.
"Oh ayolah, El. Aku tahu kau hanya bermalas-malasan setelah di rumah. Jadi, temani aku yah?" pintanya lagi.
"Tidak." Aku kembali menjawab ketus.
"CK, pokoknya aku tidak mau tahu, nanti setelah pulang sekolah kau harus menemaniku, titik!" Ara ikut berujar ketus.
Lihat? Sudah kubilang, dia memang senang sekali memaksaku ikut dengannya. Aku hanya memutar bola mataku malas, dan kembali melanjutkan aktivitas membacaku.
"Hay, sha," sapa seseorang. Biar kutebak, itu pasti pak ketua. Tanpa melihatnya saja aku tahu siapa itu.
Memangnya, di sekolah ini siapa yang berani berbicara denganku selain Ara dan ketua kelas yang sok itu? Ya, maksudku kecuali para guru. Aku hanya berdehem menjawabnya.
"Kemarin ulangan fisika dan kau tidak datang. Jadi, Bu Killa menyuruhmu mengerjakan tugas ini, sebagai ganti dari nilaimu yang kemarin." Pak ketua menyerahkan selembar kertas.
Aku menatapnya kesal, dasar pengganggu!
Kuambil kertas itu dengan kasar. "Tunggu apa lagi?! Pergi sana!" usirku dengan ketus.
Laki-laki jangkung itu hanya tersenyum mendengar usiran ketusku. "Baiklah, kalau begitu semangat, Ellysha!" serunya dengan nada ceria, yang kemudian langsung melenggang pergi.
Aku hanya mendengkus. Ara menatapku penuh arti. "Wah, sepertinya Alex menyukaimu, El," goda Ara padaku.
Aku menatap malas Ara.
Padahal jelas-jelas dia yang menyukai pak ketua, tapi malah menggodaku.
Dasar munafik!
***
Bel istirahat berbunyi nyaring ke penjuru sekolah. Ara mulai menarik paksa tanganku, mengajakku ikut dengannya ke kantin.
Dalam perjalanan, sesekali Ara tertawa dengan cerita yang ia buat. Aku hanya diam mendengarkan dengan malas, sesekali menimpalinya dengan ketus.
Ara tak mempermasalahkan, dia terus bercerita dengan riang membuat beberapa anak menatap kami.
Mungkin heran, karena Ara mau berteman dengan 'Demonia' yang sombong dan menyebalkan. Yah, setidaknya itulah julukan yang mereka berikan padaku.
Diambil dari kata demon yang berarti iblis, jika kalian tidak tahu.
Tidak salah, tidak benar juga. Jika salah, itu karena mereka yang mengganggu ketenanganku lebih dulu. Jika benar, itu karena aku memang sering mengabaikan sapaan mereka, lalu memaki mereka jika aku merasa terganggu.
Well, sebenarnya itu tidak penting juga sih. Karena, hey, lihatlah!
Gadis dengan baju sekolah yang kekurangan bahan, make up tebal di wajahnya, rambut bak pelangi dengan warna-warni menghiasi, kuku merah menyala, dan oh, jangan lupakan tatapan sinisnya yang menyebalkan itu.
Sangat mirip dengan tante-tante girang yang kurang belaian.
Memang tidak untukku, tapi untuk sahabatku. Ingat, SAHABATKU. Satu-satunya orang yang hanya aku boleh melakukan itu.
"Guys, kalian lihat? Sekarang si penghianat ini mulai menjilat seorang 'Demonia', untuk apa? Tentu saja untuk berlindung di balik ketiaknya," ledek tante girang itu. Kedua antek-anteknya tertawa.
Aku hendak maju, memukul mulutnya yang menyebalkan itu. Tapi, Ara sudah lebih dahulu menahanku. "Jangan El," bisiknya pelan.
Napasku tersengal mencoba menahan marah. Namun, sedetik kemudian aku tersenyum miring, kulepaskan tangan Ara yang menahan lenganku.
Aku maju perlahan mendekati tante girang itu. "Well, well, well." Aku mulai mengelilingi si tante girang dengan langkah pelan. "Jadi, tante girang ini mulai berani melawan seorang 'Demonia'? Kemajuan yang cukup bagus." Aku mengangguk-anggukkan kepalaku dengan ekspresi penuh dramatis.
Tante girang diam.
"Kira-kira, hukuman apa yang pantas untuk tante girang ini?" bisikku pelan, penuh penekanan dan ancaman.
Tante girang bergidik.
Aku terkekeh pelan. Ah, lucunya, padahal aku baru berucap. Tapi, lihatlah, tante girang itu justru sudah bergidik lebih dulu. "Silahkan menganggu milikku lagi, dan penderitaan akan menghampirimu terus-menerus." Aku berujar pelan di dekat telinganya, sarat akan ancaman.
Tante girang membeku di tempat.
Melihat tante girang itu membeku di tempatnya, aku menarik tangan Ara, mengajaknya pergi ke kantin. Sepanjang perjalanan, sikap Ara mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam sekarang.
Hingga setibanya di kantin, sifat pendiam Ara perlahan mulai membuatku kesal. Aku memukul keras meja kantin, membuat banyak mata menatap kami, aku berdiri dan hendak pergi.
Namun, Ara lebih dahulu mencekal tanganku. "Kau mau kemana, Ellysha?" tanya Ara was-was.
"Memberi pelajaran tante girang sialan itu, karena sudah membuat mulutmu jadi terkunci," jawabku mantap dengan wajah serius.
Ara tampak terkejut, sedetik kemudian ia tersenyum lembut. "Aku baik-baik saja, El, duduklah, aku akan memesan makanan untuk kita."
Aku masih diam, meneliti wajah Ara. "Aku baik-baik saja, sungguh," ujar Ara meyakinkan. Aku mengangguk dan kembali mendudukkan diri.
Setelah kepergian Ara, aku mulai menatap bengis anak-anak lain yang menatap meja kami. "Apa?! Mata kalian ingin kucolok, hah?!" tuturku dengan nada garang. Semua orang langsung berpaling. Beberapa anak mendengus kesal karena mendengarnya, beberapa merasa takut.
Aku sendiri mengedik tak peduli, siapa suruh memperhatikan meja kami? Mengganggu ketenanganku saja, CK.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPILIH (Lengkap)
Fantasy(Petualangan - Fantasi) Namanya Ellysha Seinna Rajasa, seorang gadis remaja yang amat menyukai dunia fantasi dan hal-hal berbau misteri. Sifatnya galak dan sombong hingga membuatnya tak disukai banyak orang. Suatu hari, saat ulang tahunnya yang ke e...