08

11.7K 1.8K 14
                                    

Pagi-pagi sekali, Iriana membangunkan ku, awalnya aku enggan bangun, lantaran masih mengantuk, tapi anak itu semakin menjadi membangunkan ku, membuat ku mau tak mau bangun, atau cara Iriana membangunkan ku akan semakin gila.

Sebenernya tadi malam kami tidur hanya beralaskan daun lebar dengan bentuk memanjang, entahlah aku tak tahu itu daun apa, yang jelas itu bukan daun pisang.

Kami tidur dengan posisi mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Gaery.

Aku sendiri bukannya nyaman tidur di situ, hingga membuat ku masih ingin tidur. Tapi karena aku tidur sudah cukup larut, mungkin sekitar jam duaan.

Aku menoleh ke arah Iriana, mataku masih sipit. "Jam berapa sekarang?" tanyaku dengan suara serak.

Iriana mendongak sebentar kemudian kembali menatap ku. "Sekitar jam empatan," jawab Iriana singkat.

Mataku yang masih sipit langsung membulat. "Kau gila?! Untuk apa kau membangunkan aku sepagi ini?!" Aku menatap tak percaya Iriana.

Hey yang benar saja, itu berarti aku baru tidur dua jam-an, mana cukup waktu sesingkat itu mengistirahatkan tubuh dan otak ku?!

Iriana memutar bola matanya. "Lihatlah sekitar mu, Ellysha, semua orang sudah bangun, kau ingin tidur di saat semua orang sedang bersiap-siap untuk pergi?"

Aku mendengus. "Itu urusan kalian!" ketusku hendak kembali tidur.

Iriana menahanku. "Hey, kau ini malas sekali sih, kita akan berangkat satu jam lagi, kau harus bersiap-siap, Ellysha!" seru Iriana.

Aku menatap kesal Iriana. "Memangnya apa yang harus ku siapkan? Kau lupa? Aku datang ke sini tak membawa apa-apa selain baju yang kupakai dan buku Sahargaratta ku." Aku berujar ketus.

Iriana memutar bola matanya. "Setidaknya cucilah dulu wajah kusut mu itu, rapikan rambutmu, dan bantu aku cari makanan."

Aku mendengus. "Mencuci wajah itu hanya butuh waktu satu menit untuk ku, apalagi merapikan rambut cukup beberapa detik saja, dan untuk cari makanan? Itu urusan kalian!" Aku kembali melanjutkan tidur ku, setelah menyelesaikan kalimat bernada ketusku.

Iriana hanya pasrah melihat ku yang kembali meringkuk di atas daun panjang. Masih dengan perasaan kesal, Iriana mengajak Chaetna mencari makanan, dengan gerutuan yang menemani perjalanan mereka.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba seseorang menarik paksa tanganku, memaksaku untuk duduk.

Dengan setengah kesadaran yang kumiliki, kulihat Louise menatapku garang. "Cepatlah bangun wahai manusia rendahan, pangeran Luke sudah menunggumu untuk ikut sarapan!" omel Louise padaku kemudian berlalu begitu saja.

Aku mendengus kesal, masih dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, aku berdiri berjalan menuju Iriana dan Chaetna yang tengah menyiapkan makanan.

"Akhirnya kau bangun juga, El, aku khawatir kau tak akan kebagian makanan jika masih terus tidur." Iriana menyerahkan daun berisi ubi dan beberapa buah.

Tangan Iriana yang hendak menyerahkan makanan kepadaku ditariknya kembali, saat melihat wajahku. "Sebaiknya cucilah dulu wajahmu, Ellysha, rapikan rambut kusutmu itu!" seru Iriana menatapku tak percaya.

Aku mendengus. Kenapa dia cerewet sekali sih? Dengan perasaan kesal dan nyawa yang masih belum juga terkumpul, aku melangkah pelan menuju sungai yang tak jauh dari tempat kami bermalam.

Aku menguap sekali, menatap lamat air jernih yang terus mengalir di depanku, riaknya ramai, menandakan jika sungai ini tidak terlalu dalam. Mungkin setinggi lutut ku? Entahlah.

Aku mengambil air sungai dengan kedua tanganku sebagai wadahnya, kemudian membasuh wajahku dengan air itu.

Dingin, itulah hal pertama yang terlintas di pikiran ku saat air jernih itu menyentuh wajahku. Beberapa kali aku membasuh wajah dengan air dingin itu.

Aku berdiri hendak kembali, perutku sudah lapar meminta untuk diisi.

Namun...

Byurrr

"Au!" ringisku. Aku terpeleset dan jatuh ke sungai.

Suara gelak tawa mulai terdengar di telingaku, aku menatap tajam wajah-wajah menyebalkan yang tengah menertawakan diri ku.

Kulihat, Luke tengah berlari menuju ke sini, laki-laki itu membantu ku berdiri. "Kau baik-baik saja?" tanya Luke penuh khawatir.

Aku menatap kesal. Bagaimana mungkin dia bertanya begitu? Tentu saja aku tidak baik-baik saja.

Namun, aku sedang malas. Tubuhku rasanya sakit, badanku juga kedinginan. Kurasakan tubuhku mulai menggigil karena kedinginan.

Luke meminjamkan jubahnya padaku. Iriana menghampiri ku, ia membantuku duduk. Anak itu menyerahkan makanan padaku, juga air minum yang di tempatkan di dalam bambu.

Aku kembali menatap orang-orang yang tadi menertawakan ku. Hanya ada Louise dan Gaery.

Kupikir ada Leo juga, ternyata anak itu sedang pergi sejak aku kembali tidur lagi tadi, Iriana yang memberi tahuku.

Louise dan Gaery menatapku dengan raut gelinya. Aku menatap tajam kedua orang itu. "Apa?!" Aku berujar garang.

Kedua orang itu kembali tertawa melihat ku marah, membuatku semakin kesal.

"Louise, Gaery, hentikan tawa kalian!" perintah tegas dari seorang Luke. Dua orang itu patuh, kompak membungkam mulutnya.

Aku melirik Luke, menatapnya lamat. "Luke...," panggil ku pelan. Luke menoleh, menatapku tanya.

"Dulu, saat di sekolah, guruku pernah bilang, jika sebuah pelukan dapat membuat kehangatan alami, bisakah kau memelukku?" tanyaku dengan wajah polos dan tubuh menggigil.

Semua orang bungkam, tak menyangka dengan permintaan mustahil ku. Ku lihat, mata Louise hampir keluar dari tempatnya, saking kesalnya dia. "Hey, manusia-"

"Louise!" tegur Luke, bahkan sebelum Louise menyelesaikan kalimatnya. kulihat tangan Louise mulai mengepal seakan tengah menahan marah.

Luke kembali menatap ku, ia mengangguk pelan. "Tentu, aku akan memelukmu." Luke melangkah mendekati ku. Iriana menggeser sedikit duduknya.

"Bagaimana?" tanya Luke mencoba menyamakan posisi. "Hangat," gumamku pelan, Luke tersenyum tipis.

Dalam hati, aku tertawa kencang, melihat kusutnya wajah Louise. Dia pasti akan semakin dendam padaku, setelah ini.

HAHAHAHAHA.

TERPILIH (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang