13

10.1K 1.6K 12
                                    

Seperti namanya, sungai ini memiliki air yang berwarna merah. Aku tak tahu kenapa sungai ini bisa berwarna merah, ini sungguh tidak logis.

Tapi, mengingat ini dunia fantasi, tidak ada yang tidak mungkin bukan? Well, ini bahkan sangat lumrah.

Iriana bilang, di dunia ini bahkan ada danau yang memiliki air dengan tujuh warna berbeda.

"Jadi, dimana kita akan menemukan batu pertama?" Iriana menatap ku.

Hey, kenapa dia jadi bertanya padaku?

"Carilah tempatnya dan temukan yang bersinar, begitulah petunjuknya," jawab Louise, menggantikan aku. Iriana mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Lalu, dimana tempat bersinar itu, Louise?" Iriana menatap serius Louise.

Louise menatap sinis Iriana. "Aku yakin kau masih memiliki otak untuk berpikir," ujarnya.

Iriana mendengus. "Aku menyesal sudah bertanya padamu."

"Tak ada yang meminta mu bertanya padaku." Louise menanggapi ucapan Iriana.

"Sepertinya kita harus menunggu sampai malam tiba." Leo berujar acuh. Dia berjongkok menurunkan ku dari gendongannya, kemudian ikut duduk di sebelah ku.

"Apa maksudmu?" Iriana beralih menatap Leo.

Aku mulai merilekskan diri, menyandarkan tubuhku pada pohon besar yang berada tepat di belakang ku.

Masabodo dengan mereka yang mulai mendebatkan tentang petunjuk batu pertama. Yang jelas, otakku butuh istirahat. Lagi pula, peran ku disini adalah sebagai tamu kehormatan, wajar saja jika aku mendapatkan perlakuan spesial. Tapi, akan lebih bagus jika aku diperlakukan layaknya seorang ratu. Hahahaha.

"Ah benar juga!" Dengan mata terpejam, aku mendengar Gaery berseru. "Jika yang kita cari adalah sesuatu yang bersinar, maka kita harus menunggu keadaan gelap terlebih dahulu, kita tidak akan bisa melihatnya jika keadaan sekitar seterang sekarang."

"Baguslah jika kau mengerti," ucap Leo. Aku yakin dia tengah menatap sinis Gaery.

"Oh ayolah, setidaknya kita bisa menyiapkan makanan atau tidak tempat tidur terlebih dahulu." Aku tak tahu apa yang dimaksud Gaery.

"Itu urusan kalian." Suara Leo yang berujar acuh.

Namun....

Sebuah suara menguap dari seorang vampir menyebalkan membuat otak jenius ku mulai menyadarinya. Aku membuka mataku untuk memastikan tebakanku tidak salah, dan benar saja.

VAMPIR MENYEBALKAN ITU SUDAH MEMBARINGKAN TUBUHNYA DENGAN MATA TERPEJAM.

Disaat semua makhluk dengan giatnya bekerja untuk menyiapkan makan malam dan tempat untuk tidur nanti malam, vampir menyebalkan itu malah enak-enakan tidur.

TIDAK TAHU DIRI!!

***

Hari mulai gelap, kami sudah bersiap mencari 'sesuatu yang bersinar' itu.

Kakiku juga sudah mulai bisa berjalan, walaupun masih sedikit nyeri. Tapi, itu sudah lebih dari cukup untuk menghindari makhluk menyebalkan tidak tahu diri itu.

"Jadi, kemana kita akan mencari batu pertama?" Gaery menatap Luke, meminta sarannya yang merupakan pemimpin kelompok ini.

Luke diam sejenak. "Sepertinya kita harus membagi kelompok." Luke kembali diam, menunggu reaksi kami.

Tak ada yang protes. "Kita akan bagi menjadi tiga kelompok, satu kelompok menyusuri hulu sungai, satu kelompok menyusuri hilir sungai dan satu kelompok menyusuri hutan di sebrang sungai." Luke kembali menunggu reaksi kami.

"Jadi bagaimana pembagian kelompoknya?" Gaery bertanya.

"Yang jelas, aku akan bersama dengan Luke, sisanya terserah." Louise menatap sinis Gaery.

Luke menghela napas pelan. "Ya, aku akan bersama Louise, Chaetna dan Iriana, tentu saja mereka tidak akan berpisah, Gaery kau akan ikut kelompok mereka, dan sisanya...." Luke menatapku dan Leo secara bergantian.

"Kalian satu kelompok," putus Luke. "Tidak bisa!" Aku memprotes.

Enak saja, aku tidak mau satu kelompok dengan makhluk menyebalkan itu.

"Berhentilah protes, makhluk rendahan, ini sudah diputuskan." Louise menatapku garang. Aku balas menatap menantang Louise. "Lalu kenapa? Itu-"

"Sudahlah, ayo berangkat." Leo menarik tanganku. Aku menatap tak percaya makhluk menyebalkan itu. "Hey, apa-apaan kau? Aku tidak mau pergi bersama mu!" Aku menarik tanganku kembali.

Leo menatap ku malas. "Lantas? Kau ingin pergi bersama siapa? Sendiri? Baiklah itu pilihan mu." Leo mulai berjalan meninggalkan ku.

CK, apa-apaan maksudnya itu, tentu saja aku akan-

Hey! Kemana para makhluk itu pergi? Kenapa mereka sudah hilang saja?

Aku berbalik, Leo sudah mulai menjauh. Dengan terpaksa, akhirnya aku memilih ikut dengannya, atau aku akan sendirian, di hutan menyeramkan dengan kemungkinan terdapat hewan buas yang siap menerkam ku kapan saja.

Leo melirikku dengan wajah sinisnya. "Tak jadi pergi sendiri, nona?" Leo berujar menyindirku.

Aku mendengus. "Diam kau!"

Leo terkikik geli.

Astaga! Kenapa dia sangat menyebalkan?! Kenapa?!

Aku menekuk wajahku. Perasaan kesal memenuhi hatiku. Benar-benar suram.

"Hey, daripada memasang tampang cemberut mu itu, lebih baik kau melihat makhluk-makhluk kecil yang mengelilingi mu, itu jauh lebih baik." Leo menatap ku.

Aku menyipit, dan mulai mengedarkan pandanganku. Eh? Wow, ini sangat indah!

Lihatlah, di sekeliling kami, makhluk-makhluk kecil dengan ekor menyala berterbangan dengan jumlah tak sedikit.

Mereka bermain-main, bahkan sesekali hinggap di atas kepalaku, tak sedikitpun merasa terancam.

Itu kunang-kunang.

"Indah bukan?"

Aku refleks mengangguk, tanpa mengalihkan pandanganku dari kunang-kunang lucu itu.

"Kalau begitu berhentilah merasa kesal."

Aku menoleh. Menatap heran Leo. "Apa maksudmu?"

Leo tersenyum manis. Argh, dia tampak aneh dengan senyuman itu. Seringaian akan lebih cocok untuknya, sungguh.

"Karena wajahmu sangat jelek jika sedang kesal." Gelak tawa mulai memenuhi suasana malam. Wajahku kembali cemberut.

Aku memukuli Leo yang sedang tertawa kencang. Ternyata, memang aneh jika dia tiba-tiba tersenyum manis tanpa sebab.

"Berhenti, sialan!" Aku menghentikan pukulan ku, karena sepertinya itu tidak mempan pada tubuhnya.

"Baiklah, baiklah." Leo menghentikan tawanya. Ia menatapku geli. Aku mendengus, memalingkan wajahku.

TERPILIH (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang