31

8.4K 1.4K 23
                                    

"Jadi, apa maksud akan ucapan mu tadi?" Luke bertanya pada Gretta. Gretta menoleh, tersenyum manis menatap Luke. "Itu tempat batu biru, batu yang kalian cari."

Aku mendengus, seharusnya itu jawabanku. Dasar elf jelek sialan!

"Darimana kau tahu?" Gaery bertanya menyelidik. Gretta terkekeh pelan. "Sudah kubilang, kan, aku warga elf penjaga Bukit Duri. Tentu saja aku tahu."

"Wah, berarti kau bisa menunjukkan jalannya pada kami, iya kan?" Iriana bertanya penuh antusias. Gretta menggeleng pelan. Ia menatap Iriana seakan tengah kecewa. "Aku seorang penjaga, tugasku adalah menjaganya bukan memberitahukan tempatnya kepada sembarang orang."

"Tapi, aku seorang putra mahkota kerajaan vampir, calon raja yang akan memimpin dunia ini, bukan orang sembarang yang kau maksud," protes Luke dengan wajah seriusnya.

"Maaf pangeran. Tapi, batu biru adalah warisan leluhur yang sudah diwasiatkan kepada kami untuk dijaga, sejak terjadinya peperangan beberapa tahun yang lalu. Anda tak bisa memaksa mengambilnya dari kami," jelas Gretta.

"Tapi, dunia ini sedang kacau, tanpa batu itu, kita tak bisa menghilangkan kekacauan yang terjadi." Iriana ikut angkat suara, menatap mohon pada Gretta.

"Aku tahu, Iriana. Oleh karena itu aku kemari." Gretta menatap kami penuh misterius.

***

Setelah berjalan jauh, akhirnya kami pun sampai. Di depan gerbang perkampungan elf.

Ya, perkampungan elf!

Elf jelek itu membawa paksa kami kemari. Dia mengancam tak akan membukakan gerbang yang menjaga puncak Bukit Duri, jika kami tak menyelesaikan ujian yang mereka berikan pada kami.

Kulihat, elf itu memejamkan matanya, telapak tangannya ia ulurkan ke arah tanda, yang sepertinya kunci gerbang besar di depan kami ini.

Beberapa detik kemudian, gerbang itu perlahan mulai bergerak, masuk kedalam tanah, membuat tanah yang kami pijaki sedikit bergetar.

Perlahan namun pasti, gerbang itu akhirnya sempurna terbuka. Pemandangan menakjubkan muncul di depan mata.

Berbeda dengan perkampungan werewolf yang didominasi oleh bangunan dari papan kayu, berbeda pula dengan perkampungan peri yang didominasi dengan rumah pohon.

Perkampungan elf benar-benar indah dengan banyak bongkahan kristal yang memenuhi setiap sudut tempat di dalam sana. Bahkan rumah-rumahnya terbuat dari bongkahan kristal yang berwarna-warni indah.

Diujung jalan yang jaraknya cukup jauh dari tempat kami berdiri, tampak sebuah air terjun besar dengan ketinggian mungkin mencapai ratusan meter. Airnya indah tampak berkilauan, di pinggirnya ditumbuhi bunga-bunga cantik yang dapat mengeluarkan cahaya, beberapa batu kristal juga tampak ikut memenuhi pinggiran air terjun.

Para makhluk bertelinga panjang berjalan lalu lalang di depan kami, sesekali mereka tersenyum menyapa kami. Selain memiliki tempat tinggal yang indah, ternyata para kaum elf juga memiliki wajah yang rupawan. Dari anak-anak sampai nenek-nenek, kerupawanan itu masih tampak sangat jelas di wajah mereka.

"Halo!" sapa seorang gadis cantik, pada kami yang masih setia berdiri di ambang pintu gerbang perkampungan elf. Masih terpanah akan kecantikan perkampungan ini.

"Hay Bella!" Gretta membalas sapaan gadis elf yang dipanggil Bella. "Mereka rombongan, 'itu'?" Bella bertanya. Gretta mengangguk.

"Wuah, benarkah?!" Bella berseru terkejut. Ia menoleh menatap kami antusias. "Selamat datang di perkampungan elf!" sambutnya girang.

"Oh ya, perkenalkan namaku Isabella, kalian bisa memanggilku Bella." Bella mengenalkan dirinya pada kami, dengan senyum yang mengembang.

"Aku Iriana, seorang mermaid, senang bertemu dengan mu, Bella," balas Iriana mengenalkan dirinya. Senyuman di wajah Bella semakin mengembang, melihat respon Iriana.

Ia beralih menatap kami. "Aku Halsyie, seorang werewolf," ujar Halsyie ikut mengenalkan dirinya.

"Aku Gaery, seorang peri."

"Cha-Chaetna, penyihir."

"Saya Luke, putra mahkota kerajaan vampir."

"Louise, asisten pribadi pangeran Luke."

"Leo."

"Wuah, ada beberapa makhluk inti berkumpul di rombongan ini, hanya kurang elf dan dwarf agar semua makhluk inti dunia Arsga berkumpul!" seru Bella antusias dengan senyuman yang tak sedikitpun luntur.

Seakan menyadari sesuatu, Bella menoleh menatapku. "Oh ya, kau tak ingin mengenalkan dirimu, wahai manusia?" tanya Bella dengan pandangan yang sama seperti yang Gretta berikan padaku waktu itu.

Sialan, ternyata semua kaum elf sangat menyebalkan! Aku benci mereka!

Ck, jika dilihat-lihat, ternyata wajah mereka sangat jelek, hanya perkampungan mereka saja yang cantik, itupun karena banyak batu kristal.

"Oh, apa makhluk rendahan sepertiku pantas mengenalkan diri pada makhluk yang begitu cantik seperti kalian?" ujarku penuh sarkasme.

Kulihat pandangan-pandangan heran mulai menatap ku, mungkin bingung akan sikap tak biasa dariku. Louise yang biasanya selalu sewot akan urusan ku, menaikkan sebelah alisnya.

"Kau ternyata sangat tahu diri ya, aku suka sifat yang seperti itu," balas nya sedikit terkekeh. Aku mengepalkan tangaku kuat, menahan marah melihatnya yang tengah bertingkah 'sok' manis.

"Apa maksudmu?!" tanya Luke dengan wajah kesal. Aku sedikit tersentak, terkejut karena Luke yang berbicara cukup keras.

"Aku tak bermaksud apa-apa. Lagi pula, manusia memang makhluk yang berada di strata paling rendah, bukan?" balasnya dengan tampang tak berdosa.

Aku menghela napas pelan, kemudian mengangkat wajahku. "Itu benar!" seruku dengan nada girang, mataku menyipit karena memasang senyum yang begitu lebar.

Bella tersenyum girang. "Kau setuju, kan?" tanyanya antusias.

Sinting! Orang bodoh mana yang akan setuju disebut rendahan? Dasar elf jelek bodoh!

Aku hanya tertawa pelan. Meski dalam hati tengah mengutuk kesal elf jelek bodoh itu. Ingin sekali aku mencakar-cakar wajah jeleknya itu, jika tak ingat tujuan kami datang kemari.

Louise ikut tertawa pelan, membuat ku menatapnya heran. Sepertinya nenek sihir jelek itu ikut tertular sinting.

"Ternyata kaum elf hanya memiliki wajah rupawan saja, tapi tak memiliki otak," ujarnya sinis.

Aku dan semua makhluk itu menatap terkejut Louise. Apa Louise sedang membela ku?

Astaga! Tidakkah dia sadar diri? Dia sendiri menyebutku makhluk rendahan, dasar Louise menyebalkan!

"Wah, apa sekarang nenek sihir ini sudah sadar akan kesalahannya dimasa lalu?" ujarku dengan penuh sarkas.

Louise menatapku sinis. "Jangan mimpi!" ketusnya. Aku hanya terkekeh, setidaknya aku memiliki rekan, jika ingin melawan kaum elf jelek bodoh itu.

"Maaf, apa maksudmu 'tak memiliki otak'?" tanya Bella menuntut penjelasan. Louise tersenyum miring. "Kenapa kau marah? Bukankah itu kenyataan?"

Bella mengepalkan tangannya kuat. Ia menatap rendah Louise. "Kau sangat tidak sopan, sepertinya kau hanya seorang penyihir miskin yang tak pernah belajar tata krama dan sopan santun."

Louise tertawa pelan mendengar tuturan elf jelek bodoh itu. Akupun ikut tertawa.

Hey, tentu saja!

Dia berbicara seakan dirinya sudah memiliki tata krama yang baik saja. Padahal dia pun sama saja dengan Louise. Bahkan lebih parah dari Louise.

"Oh, ternyata, selain tak memiliki otak, kaum elf juga tak tahu diri sekali, ya?" Louise membalas dengan nada yang begitu santai.

"Kau!" Bella menggeram marah.

"Apa maksudmu, wahai penyihir?" tutur seseorang dari arah belakang.

TERPILIH (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang