Bagian 14 - Belenggu rasa.

6.1K 706 293
                                    

Tetesan air hujan itu membuat gemericik bunyi yang sangat khas dari luar jendela. Kacanya yang berembun, burung gereja yang tak sengaja mampir untuk sekedar meneduh, dan jangan lupakan hawa dingin yang semakin menyeruak kemudian masuk lewat cerobong-cerobong kecil yang letaknya berada di atas plafon untuk bisa menembus kedalam rumah. Hawanya semakin beradu padu dengan air conditioner yang sudah dinyalakan sejak malam, sayangnya siapa yang bisa menolak harumnya hujan setiap turun?

Selimutnya dirapatkan lagi untuk menutupi bagian atas tubuh milik Doyoung karena Kejora tau lelakinya sangat lelah akibat bekerja lembur, belum lagi peristiwa yang tidak semestinya terjadi semalam.

Isi di dalam kepalanya sebenarnya berkecamuk keras, tentang perubahan sikap Hany yang menjadi kasar pada Kejora. Hany bisa dibilang sosok yang santai atau memegang teguh prinsip "ini hidup gue semau gue."

"Kejora nggak suka Hany tinggal di sini"

"Kejora takut Hany ngerebut om"

"Kejora iri karena Hany hamil"

Jadi sebenarnya itu pernyataan siapa dan asalnya darimana? Rasanya Kejora tak pernah membicarakan itu padanya. "Rupanya Hany memang belum berubah" pikirnya.

Kejora tak pernah mengulas masalah tentang keinginan Doyoung yang ingin memiliki seorang anak. Siapa yang memberitaunya? Doyoung? Tidak mungkin, rasanya memang mereka tidak sedekat kelihatannya. Doyoung selalu menjaga jarak dengan Hany di hadapan Kejora. Lagipula yang ikut membantu mengizinkan Hany tinggal disini juga gadisnya, bagaimana bisa Doyoung menceritakan itu semua? Tidak. Rangkaian peristiwa ini begitu rumit dan berputar di dalam kepalanya.

Jadi apa sebenarnya tujuan Hany datang ke rumah ini?

Sekelebat pikirannya menghujami, apakah sekarang Kejora benar menyesal karena mengizinkan Hany tinggal bersamanya? Mengingat Hany sedang mengandung di usianya yang masih begitu muda tanpa seorang pria disampingnya, Kejora paham sekarang. Mungkin Hany butuh perhatian lebih dari orang-orang sekitarnya.

"Papah bangun"

Suara itu keluar dari bibir mungil milik Kejora.

Tangan Doyoung menggapai sebelah kanan bagian wajahnya kemudian menggosok sedikit area matanya sambil membuka dua kelopak matanya. Iris kecoklatan itu terbuka sedikit demi sedikit.

"Hm? Kok manggilnya papah sih?" Doyoung berangsur bangun dari tidurnya kemudian merangkul pundak Kejora dengan mesra dalam peluknya.

"Latihan. Siapa tau yang disini cepet mau tumbuh terus kasih kabar bahagia buat kita, nggak salah kan?"

Peluknya mengerat, Kejora merapihkan rambut hitam nan legam milik Doyoung sambil mengusap bagian tengkuk lelaki itu.

"Kalo saya papah kamu apa dong?" Tanya Doyoung balik seraya membetulkan selimut yang melapisi tubuh Kejora, dinaikan satu jengkal selimutnya dekat dengan bagian lehernya kini.

"Mima"

"Lucu nggak?"

Doyoung tersenyum sambil melempar tatapan bahagianya pada Kejora.

"Mima dan Papah" Kejora mengulanginya lagi. "Lucu kan?"

Cup

Kecupan pipi itu mendarat mulus di bagian wajah sebelah kiri Kejora, mengusap rahangnya dengan gerak vertikal sambil menciumi wangi pagi yang selalu dikeluarkan oleh perempuannya. Wangi parfum vanilla yang biasanya dipakai saat Kejora hendak tidur.

"are you okay?" Khawatirnya masih belum pulih, Doyoung tau sebenarnya Kejora menahan diri agar tidak begitu sedih dan membuat basa-basi pagi untuknya.

SIR | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang