Bagian 42 - Sweet Liar

4.7K 423 107
                                    


Setelah kejadian setengah jam yang lalu Jefry sudah meninggalkan tempat itu, kini tinggal mereka berdua yang ada di dalam kamar. Kejora telah selesai mengobati luka yang bertengger di daerah tulang pipi suaminya. Doyoung tidak memberikan reaksi, namun dia sedari tadi hanya menatap raut wajah Kejora yang cukup tenang setelah kepergian Hany dari rumahnya.

"Kenapa kamu bohong?"

Kejora memberhentikan aktivitasnya menyeka sisa obat merah yang dia berikan kepada Doyoung. Dia menyimpan semua perlengkapan kotak obat itu dan menyimpannya asal di atas nakas di samping ranjang mereka.

Kejora masih bingung bagaimana harus mengatakan, pasalnya ancaman Hany bukan sekedar ancamam biasa. Mengingat Hany adalah orang yang luar biasa jahat terhadapnya. Kejora berusaha senatural mungkin untuk tidak menceritakan situasi itu secara detailnya.

"Aku nggak tahu Mas.."

Surai hitamnya menghambur penuh saat dia menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Kejora berusaha untuk tidak melanjutkan lagi perkataanya. Dia stuck pada semua lajur pikirannya yang entah mau dibawa dimana. Dia hanya harus tetap menjaga keamanan suami dan juga anak yang ada di perutnya sekarang. Dia takut kehilangan mereka berdua. Kalau bisa Kejora ingin menyimpan semuanya rapat rapat dan jauh dari hadapan Jefry dan Hany.

"Mas .. bisa nggak? Kalau kita hidup damai kayak gini aja? Jangan pernah mau tahu urusan Jefry ataupun Hany, itu juga kan yang kamu mau Mas? Dengan begitu aku nggak akan bikin kamu cemburu karena Jefry dan aku nggak akan punya perasaan kayak gini lagi setiap liat Hany"

Nafasnya memburu saat lontaran kalimat itu dia ujarkan tanpa jeda, Kejora betul betup ingin menyelesaikan semuanya dengan tuntas. Hidupnya terasa tidak pernah damai jika wanita itu masih ada di sekelilingnya.

Kejora mati matian berusaha menahan air matanya lagi, dia menyembulkan senyum tanpa makna pada suaminya. Doyoung tahu, dia hanya berusaha terlihat baik baik saja di depannya.

Doyoung bukannya menjawab justru masih menelisik raut wajah istrinya yang menurunkan satu tetes linangan air mata yang turun dari pelupuk kanan matanya. Netranya sudah tidak lagi berkaca kaca karena air itu sudah luruh, pecah dan memenuhi ruang kosong dan menyisir daerah pipinya, yang sekarang sudah penuh dengan genangan air mata.

"Mas kenapa diem aja?"

Tidak mendapat respon, Kejora mendesak Doyoung agar cepat meresponnya, namun lagi lagi Doyoung belum mau menjawab.

Bukan tanpa alasan dia mendiami sang istri, Kejora berbohong, dan dia murka karena itu.

"Maasss!" Nada panjangnya cukup bergetar hebat. Kejora memecah tangisnya saat itu juga bagai sebuah bom waktu, perasaan takut yang selalu menghantui dirinya dia ledakan bersamaan.

Dia menarik kerah piyama Doyoung dan menempelkan kepalanya di dada sang suami, walaupun Doyoung masih belum menerima dekapan istrinya, hatinya juga luruh saat Kejora tumbang dan menangis keras dalam rengkuh tubuhnya.

"Gimana aku nggak berbohong kalau dia coba buat mencelakakan kamu sama anak kita???!!! Apa aku bisa menjanjikan itu Mas??? Keselamatan kamu sama anak kita itu lebih penting dari apapun, aku cuma nggak mau Hany rusak kebahagiaan aku lagi, ayo pindah dari sini, ayo cari kehidupan yang baru dan jauh dari mereka Mas.. aku mohon" pinta Kejora yang penuh isakan itu dan suaranya memenuhi satu ruangan disana. Dibuat bagai bisu sehingga Doyoung hanya bisa mendengar jeritan hati istrinya yang ketakutan.

Doyoung membalas peluk istrinya dengan erat. Menangis dalam satu rasa sedih yang mereka hamburkan secara bersamaan.

Hening sebentar, saat Doyoung dan Kejora berdiam, namun dia langsung membungkus rasa sedihnya, atensinya berubah ketika melihat suaminya menangis saat itu juga. Bahkan Kejora jarang sekali melihat Doyoung menjatuhkan air matanya.

SIR | DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang