Seorang lelaki berbadan tegap muncul dari balik pintu menghampiri mereka. Ia menghentikan langkahnya sembari membentak Seila saat bahunya sudah sejajar dengan bahu anaknya itu.
Seila ikut berhenti melangkah. Ia mendongak sekilas lalu kembali masuk ke rumahnya sambil memutar malas bola matanya.
"Mau kemana kamu?!" teriak Herdy kedua kalinya pada Seila yang sudah berada di ambang pintu.
Seila tetap tak mengindahkan. Ia lebih memilih menikmati musik yang mengudara ketimbang harus menadahi setiap ocehan Herdy.
"Papah lagi ngomong tapi kamu malah pergi!" lanjut Herdy dengan napas yang tidak teratur. Kemudian, Erika menenangkan suaminya dari belakang. Tangan kanannya merangkul bahu kanan Herdy. Dan tangan kirinya mengusap-usap bahu kiri Herdy.
"Udah, Pah. Jangan terlalu dikerasin, nanti dia makin keras," lirih Erika.
"Tapi, Mah, kalau Seila dibiarin gitu aja dia akan makin ngelunjak dan gak ngehormatin kita."
"Biarin, Pah wajar Seila itu remaja. Emosinya masih labil."
Herdy akhirnya menghela napas pasrah. Ia menyadari sikap Seila yang sekarang tak lain dan tak bukan memang dirinyalah penyebab utamanya.
...
Siang hari, matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinar. Berbeda dengan seorang gadis yang sedang berjalan sempoyongan di beberapa anak tangga terakhir menuju UKS.
Kepalanya terasa pusing. Seperti ada yang menarik-narik benang kusut di dalamnya. Ia menjambak rambutnya yang sebahu dengan keras. Berharap rasa sakit itu segera pergi.
Seila yang sedang meminum jus jambu melihatnya. Ia pun menghampirinya dengan kepala miring dan mata memicing.
"Lo kenapa, Rin?" tanya Seila panik karena Karin, adik kelasnya seperti akan ambruk.
Ia menarik ujung kemeja Seila untuk meminta bantuan karena bibirnya sudah terlalu lemah untuk bersuara.
"Aduh gimana ini?" desah Seila. "Lo masih kuat jalan gak?"
Tetap tidak ada respons dari Karin. Hingga satu ide terpikirkan Seila tapi Karin menahannya lagi saat Seila hendak berlari mencari bantuan. Ya, Karin butuh pertolongan secepatnya dari Seila. Ia tak ingin menunggu.
Tarikan tangan Karin mengejutkan Seila sehingga ia menumpahkan jus jambunya pada seragam Karin.
"Duh, lo diem dulu coba! Jadi kan jusnya tumpah," geram Seila semakin panik sekaligus kesal karena Karin.
Karin meminta maaf dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Tunggu bentar deh! Gue mau cari bantuan," tegas Seila. Ia berlari cepat meninggalkan Karin yang hampir ambruk di tangga.
Ekspresi panik Seila ternyata menimbulkan kesalahpahaman seorang cowok berjaket hitam polos yang tak sengaja melihat Karin basah tersiram jus.
Saat Seila hendak berbelok ke kanan, badannya menubruk tubuh jangkung itu. Ia tersungkur jatuh ke lantai koridor yang tak terdapat sampah satu pun.
Brughhh ...!
"So-sorry!" tukas Seila refleks tidak nyolot seperti biasanya.
Helaian rambut Seila yang tergerai menutupi sebagian wajahnya. Telapak tangannya menahan supaya kepalanya tidak ikut tersungkur ke lantai.
Ia melihat sepatu sekolah berwarna hitam, bertali putih, dan terlihat agak kusam dipakai oleh cowok itu.
Napas Seila terburu-buru karena perjalanannya mencari bantuan ke UKS terhalang oleh cowok itu. Ia pun berdiri dan akan berlari ke arah berlawanan dengan cowok yang memasukkan tangannya ke dalam saku depan celana abunya. Namun, lengan kanannya malah ditarik dengan cengkraman kuat cowok beralis tipis nan panjang itu.
Seila semakin kesal. Ia membanting wajahnya langsung menatap cowok itu dengan mata menyala.
"Apa lagi sih?"
Seila semakin geram saat tau bahwa cowok itu adalah Jefry. Terlebih kini cowok itu menatapnya dingin dan mengintimidasi.
"Gue gak suka liat lo jahatin orang, apalagi cewek!" geretaknya.
Pasalnya ia hanya menyaksikan saat jus jambu itu tumpah. Ia tidak melihat jelas bagaimana jus itu bisa tumpah karena terhalang oleh badan Seila. Sehingga, ia menyangka bahwa Seila sengaja menumpahkannya.
"Apasih suuzan banget jadi orang?!" ketus Seila. Ia melepaskan cengkraman tangan besar itu dengan kasar lalu berdecih kesal sambil mengusap-usap tangannya yang memerah akibat cengkraman Jefry, cowok yang tiba-tiba selalu muncul depan Seila.
"Lo terobsesi sama Gerald tapi lo malah jahatin cewek yang deket sama dia," ucap Jefry lantang yang semakin memicu amarah Seila.
Ia mendongak. Matanya yang bulat menyala tajam di bawah tatapan mata Jefry yang getir menahan amarah.
"Emangnya lo siapa sampe berani ngatur-ngatur hidup gue, hah?!"
Tangan Jefry terkepal keras. Ia ingin sekali berteriak karena memang benar ia bukan siapa-siapanya Seila. Ia hanya kakak kelasnya yang selalu mencoba mendekati Seila tetapi tidak pernah ditanggapi dengan baik oleh sang pencuri hati itu.
"Ngurus diri sendiri aja gak bener, sok-sokan ngatur hidup orang, cih!" cemooh Seila pelan.
Jefry berdecak sambil memalingkan wajah ke samping kanan sekilas. Matanya ikut mendelik.
"Kenapa? Gak bisa jawab kan?" Suara Seila masih merendah. Tatapannya sangat dingin dan datar. Jefry bingung harus berkata apa.
"Tukang kabur bisa apa?" hina Seila seraya pergi ke UKS meninggalkan Jefry yang masih mematung dengan tangan terkepal.
Satu langkah. Dua langkah. Hingga langkah ketujuh Seila yang sedang berjalan cepat harus terhenti karena mendengar teriakan Jefry.
"Gue bisa bikin lo takut kehilangan gue!" seru Jefry kencang, melenyapkan derap kaki Seila.
Deg!
Jika kalian menikmati cerita ini, vote dan komen harap tinggalkan ya sebagai jejak dan penyemangat aku update, terima kasih dan sampai berjumpa di chapter selanjutnya⭐🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
When I'm Fear of Losing You [on going]
Teen Fiction"tukang kabur bisa apa?" "gue bisa bikin lo takut kehilangan gue!" Setelah cinta pertamanya di SMA tak terbalas, Seila akhirnya membayar janji Jefry untuk menjadi pacarnya. Sulit untuk berkata bahwa ia perlahan jatuh pada pesonanya. Hingga saat ia m...